Penulis: Husni Efendi
Rambutnya tampak dipenuhi uban, sepertinya bukan karena sudah berumur. Badannya pun hanya bertambah tinggi, jika dibandingkan dengan semasa SMP dulu, melebar pun tidak.
Lainnya, tidak banyak yang berubah. Obrolan yang apa adanya, terkadang saru, dia lebih seperti pencerita yang baik. Terbukti, beberapa hal dari kisahnya, saya hanya manggut-manggut, sambil sesekali berekspresi spontan, atau banyaknya tertawa.
Rokok filter dihisapnya pelan, anjuran dari saya untuk tidak usah merokok dulu pun sepertinya tidak dihiraukan, mengingat baru beberapa hari lalu dia terbaring di Rumah Sakit, dan masih dalam masa penyembuhan.
Di grup teman-teman SMP, kisahnya begitu legendaris, dan selalu mengundang tawa. Tentang cinta pertama kepada kawan seangkatan yang diungkapkan dengan sayatan silet di tangan.
Saat mudik kemarin, saya bertemu dengannya di rumah neneknya, rumah yang dulu juga sempat saya kunjungi, saat kelompok pertemanan SMP dulu terseleksi alami. Murid nakal biasanya juga berkumpulnya dengan murid-murid nakal. Begitupun sebaliknya. Berurusan dengan guru BP menjadi salah satu kisah senasib dengannya.
Justru, yang terkategori nakal inilah biasanya punya banyak koleksi cerita yang konyol dan menggelikan.
Namanya Ahmad Febri Zulfikar, salah satu kawan semasa SMP dulu yang masih intens bertemu saat saya pulang ke Magelang. Sudah punya anak dua, dan sekarang berdomisili di Temanggung.
Sembari mengepulkan asap nikotinnya, dia berujar sudah meninggalkan “dunia hitam”.
Dunia, yang dia ceritakan dan lakoni beberapa tahun silam, mengemudikan truk untuk mengantarkan cabai, dengan tenggat waktu yang membuat saya tercengang.
Komoditas cabai dipilihnya, karena menurutnya mempunyai bayaran yang lumayan saat mengangkut mulai dari petani sampai di pasar Induk Kramat Jati Jakarta.
“Panas, nggowo lombok ki Ju..”
Saya timpali dengan pertanyaan balik;
“Panas piye to..?”
Awal pertanyaan tersebut, yang membuat dia bercerita runtut, bahwa truk yang dipakai harus dalam kondisi prima dan keluaran tahun yang tidak terlalu lama, jika tidak, petani cabai yang dia datangi akan menyindir;
“Wah, tekane pirang sasi ki mas, nek truk-e ngene iki..”
Jawaban nylekit, jika truk yang dikemudikannya tidak sesuai standar yang diinginkan untuk mengantarkan komoditi cabai sampai tujuan. Mengingat kekhawatiran petani, cabai akan mudah busuk.
Hal lainnya, berimbas kepada seberapa cepat dirinya bisa membawa kendaraan tersebut.
Saya tercekat, saat dia bercerita jika mengambil cabai ke daerah Banyuwangi untuk kemudian dibawa ke pasar induk Kramat Jati, waktu tempuh maksimalnya adalah 18 jam, atau bahkan kurang dari itu. Agak tersedak, saya berujar;
“Edyaan..”
Memperbandingkan waktu yang saya perlukan saat mudik kemarin-kemarin, rute Bekasi-Magelang, nyaris 21 jam.
Artinya, jika jaraknya dia mengambil cabai di sekitar daerah Jawa Tengah, maka tenggat waktunya pun semakin sempit.
Hal tersebut adalah alasan bahwa mengemudikan truk bermuatan cabai tidak bisa istirahat sembarangan. Dia berkisah, saat berhenti ketika lampu merah, adalah kesempatan yang digunakan untuk menenggak minum atau mengganjal perut dengan tahu Sumedang, atau apapun yang dijajakan di pinggir jalan.
Musuh bebuyutan supir truk menurutnya adalah sopir bus malam. Lempar-lemparan gelas air mineral yang diisi sampah puntung rokok adalah hal biasa. Belum lagi jika sampai harus turun dari kendaraan dan beradu tonjok.
Saat mata mulai berat karena mengantuk, Febri sudah mempersiapkan beberapa helai cabai yang diambil dari karung belakang muatannya, menurutnya itu menjadi obat ngantuk herbal yang paling mujarab. Tips ini juga saya coba ikuti beberapa kali jika sedang berkendara jarak jauh saat mata mulai lelah, sementara tempat peristirahatan masih cukup jauh.
Masalah belum selesai di situ, kondisi jalanan macet, dan apapun rintangan di jalan pihak pedagang di pasar induk Kramat Jati tidak mau tahu. Jika muatan telat beberapa jam, dia akan dimaki;
“Mas, situ bawa truk apa tidur”
Febri mengisahkannya sembari terkekeh. Jika beruntung bisa tepat waktu, beberapa pedagang yang sudah menantinya akan berbaik hati memberikan tips lebih sekadar untuk rokok dan uang makan.
Proses bongkar muatan juga menjadi waktu yang menurutnya dilematis. Jika ditinggalkan istirahat cari mushola atau masjid untuk sekadar merebahkan badan, kejahatan bisa mengintai truk atau isi di dalamnya. Caranya, dia tetap istirahat tapi juga tidak meninggalkan truknya, sekaligus tidak mengganggu proses bongkar muatan.
Saya bertanya;
“Njuk piye carane..?”
Dengan cepat dia menukas;
“Hayo, teko turu nang ngisor truk kae, koyo kewan”
Kembali dia tertawa, sambil sesekali memperingatkan anaknya yang sedang main sepeda supaya hati-hati.
Tidak terasa sore mendekati Mahgrib, dia mempersilakan saya dan Dewi untuk santap bersama, sekaligus obrolan masih berlanjut dengan bahasan yang lain lagi.
Tentang kapoknya dia membawa muatan cabai dan bercerita membawa muatan lain, mengantarkan rombongan jamaah yang akan menengok Abu Bakar Baasyir dari Temanggung – Jakarta pulang pergi, dan dia tidak diperbolehkan membunyikan radio atau tape pengusir ngantuk, selain jika yang diputar adalah murotal.
Kembali kami tertawa.
Dalam hati saya merasa berutung punya teman dengan kisah yang menarik yang mau membaginya, tentang kisah hidup yang bagian-bagiannya menjadi obrolan hangat sekaligus bisa menjadi bahan tertawa bersama.
Terima kasih Febri untuk pertemanan dan ceritanya, terima kasih untuk jamuan dan kehangatan santapan bersamanya.
***
*Foto koleksi pribadi