Narasi

21 Tahun Jalansutra: Kuliner Menjadi Alasan yang Masuk Akal, untuk Masih Mencintai Indonesia

21 Tahun Jalansutra: Kuliner Menjadi Alasan yang Masuk Akal, untuk Masih Mencintai Indonesia

Penulis: Husni Efendi

Konon usia 21 tahun adalah awal dari kedewasaan manusia, usia di mana dia sudah dibebaskan untuk menenggak alkohol, mengisap nikotin, juga menonton film yang terkategori dewasa. Ataupun menjadi usia untuk bisa memutuskan merantau ke kota asing, pergi dari kehangatan dan kenyamanan rumah.

Namun, angka 21 tahun untuk sebuah komunitas sepertinya menjadi sedikit berbeda, bagaimana dua dekade lebih, wadah dari ragam manusia yang terus bertahan dengan sekian perbedaan isi kepala, keyakinan, preferensi politik, status sosial, dengan satu nyawa yang sepakat untuk dihirup bersama: merayakan dan mengekspresikan kuliner dengan ragam dan caranya masing-masing.

Awal mulanya, 2003 silam, ketika Bondan Winarno, manusia dengan lintas ke-waskita-an itu banyak menulis tentang jalan-jalan dan makan-makan di Suara Pembaruan Minggu dan Kompas Cyber Media sejak 2001. Seperti layaknya takdir tulisan yang akan menemui pembacanya, tulisan-tulisan Bondan juga banyak memunculkan interaksi tentang berbagi pengalaman kuliner dari penjuru negeri, bahkan lintas teritori. Kumpulan tulisan itu kemudian dibukukan dengan judul Jalansutra.

Lantas, dari kolom yang ditulis dan bermuara menjadi mailing list itulah, keakraban terjalin, dan kemudian bertansformasi pula menjadi grup WhatsApp. Yang tidak hanya tentang membicarakan kuliner saja dari pendekatan resep, namun juga fenomena, sejarah, dan segala hal yang masih yang nyrempet dengan tema kuliner dan gastronomi.

Turunannya juga inisiasi pertemuan-pertemuan darat antar anggotanya, apa lagi kalau bukan menjalankan misi suci melakukan perjalanan ke barat, timur, utara, selatan, dan ke setiap penjuru mata angin, untuk menyecap masakan sekaligus mengunyah kisah-kisahnya.

23 November 2024 kemarin, perayaan itu melebur dalam wadah potluck Nusantara di Museum Tekstil Jakarta. Tidak hanya merayakannya dalam deretan sajian tampah, baskom, piring, dan wadah-wadah beserta isinya, namun pula membedahnya dalam beberapa diskusi dengan tema-tema yang mumpuni:

Tentang menziarahi sang kepala suku, dalam “Jurus Maknyus Ala Pak Bondan” bersama Lidia Tanod dan Arletta Danisworo, kajian kuliner dengan pendekatan sains dalam “Jujur, Medok Banget! Yakin?” bersama Irvan Kartawiria dan Kang Harnaz.

Masih belum cukup, ditambah juga dengan pembahasan fenomena yang sepertinya hari-hari ini menjadi banyak perbincangan di sosial media, “Viral Tapi Valid! Bisa?” bersama Kevindra Soemantri seorang penulis kuliner (editorial director & restaurant editor di feastin.id), yang ditemani Ken, seorang food vlogger.

Dan tema terakhir yang banyak menarik perhatian saya, soal “Aslinya Mana?” bersama pasangan Chef Ragil dan Mei Batubara, dari Nusa Indonesia Gastronomy Foundation, yang di beberapa tahun terakhir banyak melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mendokumentasi kuliner-kuliner yang sudah nyaris punah.

Namun karena Chef Ragil berhalangan hadir, Mei kemudian ditemani Harnaz dalam membicarakan hal-hal klasik yang sepertinya terus menjadi perdebatan dalam dunia persilatan kuliner, apalagi kalau bukan tentang identitas. Sesuatu yang mungkin bagi sebagian orang dianggap penting, dan bagi sebagian lain mungkin terasa menyebalkan. Semenyebalkan soal infiltrasi politisi yang kemudian masuk ke rumah-rumah makan dengan menebalkan perkara identitas dalam medium stiker. Sungguh infiltrasi yang membuat il-feel.

Tentang keempat tema diskusi di atas, saya tidak bisa membicarakan banyak, selain juga karena ada tema yang telat saya ikuti, beberapa tema mungkin nanti bisa saya unggah ke youtube Folklor Rasa, meskipun dengan perangkat dan kualitas seadanya.

Namun beberapa poin yang masih saya ingat adalah tentang definisi “medok” yang bisa menjadi hal bias, ketika dibedah dengan struktur rasa memakai pendekatan kimiawi oleh Irvan Kartawiria dan Kang Harnaz.

Juga tentang pertanyaan menohok dari Chef Eddrian kepada Ken, sebagai pegulas makanan di sosial media, apakah dirinya melakukan kebohongan dalam membuat konten-kontennya.

Dan juga tentang Mei yang berbagi pengalaman soal dirinya keliling Nusantara, mendokumentasi dan membukukan hasil temuannya dalam empat jilid buku. Dalam siniar Ray Janson, Mei dan Chef Ragil juga bercerita tentang jenis jamur yang tumbuhnya harus dengan bantuan suara teriakan/tepuk tangan, di tempat lain ada jenis masakan berbahan ayam hutan yang sekaligus ayamnya harus perawan, atau tentang masakan-masakan Indonesia Timur yang cenderung naturalis, sedikit bumbu bahkan tanpa garam.

Sajian Potluck Nusantara

Puncak acara yang menjadi gongnya, apalagi kalau bukan menyantap hidangan yang dibawa oleh peserta dan kemudian disantap bersama.

Sebagai gambaran, peserta yang hadir, dalam pandangan kasatmata saja sepertinya mendekati angka 100 orang. Kalau setengahnya saja mereka membawa tentengan masakan, artinya ada kurang lebih 50-an jenis ragam kuliner Nusantara yang terhidang saat itu.

Untuk menjaga intensitas tersebut, panitia dengan cerdas membaginya kepada beberapa jenis makanan daerah yang akan disajikan, dan peserta menuliskannya sebelum “hari H” lengkap dengan kesediaan apa yang akan dibawakan. Positifnya, satu jenis makanan tidak akan menjadi dobel disajikan.

Ragam potluck dibagi menjadi 6 kategori daerah: kuliner Sumatra, kuliner Jawa-Bali, kuliner Kalimantan, kuliner Sulawesi – Maluku, kuliner Lombok-NTT-Papua, dan kuliner Peranakan. Dan dari masing-masing kategori tadi, turunannya kurang lebih ada 10 variasi hidangan yang tersaji.

Saya sekaligus ingin berbagi kebingungan dengan yang tidak hadir, kurang lebih seperti apa rasanya saat kemudian berada di tempat itu, dan memutuskan memilih sajian mana yang akan disantap pertama kali.

Oh ya di balik keseruan tersebut, ada panitia yang sangat berjasa sejak itu bermula dari ide hingga terejawantahkan kemudian, ada nama-nama Harry Nazarudin, Lidia Tanod, Grace Khoesuma, Euis Andriani, Arletta Danisworo, Natalia Then, Sienny Lauw, dan entah berapa nama lagi yang terlibat, baik di depan atau di balik layar, (tolong kabarkan jika ada nama-nama yang harus ditambahkan). Salam hormat dan tabik untuk kalian.

Saat semua sudah berkerumun di meja makan panjang yang terbagi menjadi dua ruang, saya seperti orang ling-lung, sliweran mencoba melihat satu-satu dulu, pertimbangannya tentu karena saya tidak bisa memasukkan semunya ke dalam mulut. Terlebih harus memakannya dalam satu waktu, lidah dan perut saya sepertinya hanya mampu menyicip kurang dari lima menu. Apalagi saya meniatkannya dari awal untuk mengeksplorasi rasa dan ceritanya, bukan untuk memenuhi hasrat di perut.

Namun pertimbangan itu tidak semuanya berjalan mulus, saya kemudian intens menyecap dan berbincang soal pliek u, masakan Aceh yang dibawa dan dimasak oleh orang Sragen. Adalah Irene Wulan Anggraini, yang kemudian bercerita kenapa memasak dan menyajikan pliek u.

Mbak Wulan, biasa saya menyapanya, salah satu anggota grup Jalansutra yang di hari itu saya baru pertama bertemu secara langsung.

Dia mengungkapkan, ide masakan itu tercetus, ketika bulan Maret lalu dirinya melakukan perjalanan “Sumatera overland” dan kemudian menginap di rumah penduduk di kawasan Lamteuba, kaki gunung Seulawah yang membuatnya terkesan. Dia dijamu pliek u dan timphan. Lengkap dengan transformasi keilmuan untuk kedua resepnya.

Tak heran kemudian dia mengungkapkannya dengan fasih, bahan pliek u ini dari kelapa gongseng yang difermentasi dan memberikan aroma yang khas, dan bagi Wulan, itu adalah hal yang menarik. Apalagi dengan tambahan sayur kecombrang, rimbang dan daun pakis yang menyatu di dalamnya. Sayuran yang boleh dikatakan langka di Jakarta. Tidak salah sepertinya saya memilih menyecapnya.

Menyebrang dari Aceh, saya juga mencoba mandai, masakan ini banyak ditemukan di daerah Kalimantan Tengah dan Selatan. Mandai adalah fermentasi dari kulit cempedak, sekilas bentuknya mirip dengan gudeg lengkap dengan warna cokelat pekatnya dengan tekstur yang seperti gepuk.

Di tengah hilir mudik puluhan orang mencoba hidangan dan beberapa tampak membungkusnya untuk dibawa pulang, saya duduk dan menerawang, sepertinya Bondan Winarno sekarang tidak hanya soal nama yang banyak dikenang oleh pegiat kuliner Nusantara. Hari ini bahkan, hal yang berkaitan dengan sosoknya; tentang pemikiran, tulisan, ulasan, dan kiprahnya, menjadi semacam “standar” dalam mengekspresikan kuliner dengan cara yang sehat, di saat kiwari, konten-konten kuliner mewabah memenuhi layar-layar gawai.

Tak hanya itu, komunitas Jalansutra sebagai salah satu warisannya, yang dia inisiasi 21 tahun silam itu kini menjadi semacam bukti; jasadnya boleh saja berkalang tanah, namun spiritnya tidak bisa pergi. Setiap mendegar cerita dan menikmati keragaman kuliner dari penjuru Nusantara, bagi saya, seperti alasan yang memunculkan kembali harapan untuk mencintai negeri ini, harapan-harapan yang sayangnya acap kali dirusak oleh politisi.

Selamat ulang tahun komunitas Jalansutra.

Salam Maknyus!

2 thoughts on “21 Tahun Jalansutra: Kuliner Menjadi Alasan yang Masuk Akal, untuk Masih Mencintai Indonesia

Post Comment