Acara

Gulai Ayam Hitam di Tengah Kemacetan yang Jahanam

Gulai Ayam Hitam di Tengah Kemacetan yang Jahanam

Kemacetan Jakarta sore itu menjadi-jadi, di beberapa grup WA pertemanan, rekomendasi jalan yang tidak usah dilalui bermunculan. Namun sudah kepalang, saya menjadi bagian yang terjebak. Hingga datang  Magrib berkumandang, tanda untuk segera membatalkan puasa tak terlalu saya hiraukan. Yang terpikir kemudian untuk mengabari Uni Reno, menyampaikan pesan saya telat datang. Hal yang sama ternyata juga terjadi, Uni Reno pun sedang mengalami penderitaan yang serupa.

Hingga kemudian mucul unggahan menu yang akan disantap di restoran Kaum terhidang, saya hanya mampu clegukan, dan berharap ojek motor yang saya tumpangi, lajunya lebih gaspol lagi.

Tak terlalu memerhatikan jam berapa saya sampai, yang pasti anggota grup Jalansutra yang datang sudah terlihat khusyuk dengan menyantap menu hidangan dan larut dalam perbincangan.

Sudah ada Mbak Indri Seska, Christina, Kay, Telly, Alfi dan putrinya Masya, Mas Suluh, dan juga Uni Reno, namun berkurang satu peserta, mbak Shinta. Yang sepertinya menyerah dengan kegilaan kemacetan Jakarta sore itu, untuk kemudian membatalkan datang.

Bertukar sapa, berbagi tempat duduk, berbincang sekilas tentang menu yang terpampang, mengunyah pelan sembari menyapu sekeliling mencari sosok chef Rahmat. Tak lama, sosok dengan baju biru dongker dan sematan logo merah putih di dada atas sebelah kanan itu saya hampiri, meninggalkan sepiring nasi dengan menu gulai ayam hitam yang sedang saya nikmati.

Chef Rahmat langsung ditodong pertanyaan soal menu andalan malam itu; gulai ayam hitam. Dia kemudian menjelaskan, soal menu ini pun di daerah asalnya sana, nagari Sulit Air, Solok, Sumatera Barat, untuk mendapatkannya juga tidak mudah, harus “by request” katanya.

Gulai ayam hitam, yang dalam proses pembuatannya menggunakan biji galundi, yang besarannya, menurutnya, seperti biji salam. Biji galundi tadi melewati proses kulitnya yang dikeringin dulu, lantas disangrai, kemudian ditumbuk sampai halus, dan disaring. Dan menghasilkan warna yang berubah menjadi hitam pekat.

Gulai ayam hitam

Chef Rahmat sendiri mengungkapkan, biji galundi ini, di Padang pun juga susah ditemukan, selain di kawasan Sulit Air. Kenapa dinamakan Sulit Air? Karena memang dulunya daerah tersebut memang benar-benar sulit akan air. Untuk mengambil airnya pun masyarakat memanfaatkan air dari danau Singkarak, dan perlu sampai ratusan meter selang untuk menyalurkannya. Saat chef Rahmat ke sana terakhir kalipun, dia bercerita, pipa-pipa kecil itu masih terlihat di pinggir-pinggir jalan.

Dalam pembuatan gulai ayam hitam, yang terpenting selain bahan biji galundi tadi, adalah juga tentang pemilihan santan.

“Dan santan itu adalah kuncinya” jelas chef Rahmat.

Soal pemilihan kelapa dan santannya ini, tanah Minang juga punya keunikan, saya teringat dengan cerita Uni Reno saat berbincang di podcast Ray Janson, bagaimana untuk mendapatkannya pun, beberapa daerah ada yang menggunakan seekor monyet yang sudah dilatih, untuk memilihkan kualitas kelapa yang yahud.

Namun karena Kaum restoran ada di Jakarta, tentu pilihan kelapanya juga yang tersedia seadanya, chef Rahmat mengakalinya, santan yang sudah diperas itu ditambahkan dengan air kelapanya, baru dapat manis dan gurih yang pas, ungkapnya.

Saat saya mencecap gulai ayam hitam ini, seperti ada rasa yang sumir tertinggal dan cenderung pedas agak semriwing. Tebakan saya diamini yang lain, mbak Alfi mengungkapkan, seperti mengingatkan jejak rasa andaliman.

Hidangan selanjutnya adalah gulai ikan batalua, gulai kuah kuning yang dibuat dari ikan mas yang sudah dibuang tulangnya saat disajikan, dan diisi dengan telur ikan kakap. Proses memasak yang komplek, batin saya. Masakan gulai khas Minang yang menyeruak aroma rempah, dengan kuah yang relatif lebih encer, dan dipercantik dengan tambahan hijau daun ruku-ruku yang tersebar di beberapa sudutnya.

Kemudian ada ayam pop generasi pertama ala Bukittinggi, berbahan ayam kampung dengan terlebih dulu dibuang kulitnya, supaya menghasilkan bau yang tidak menyengat, tidak kenyal, dan tidak alot. Jika dibandingkan dengan ayam pop generasi kedua, biasanya, ayam popnya agak basah dan dengan warna putih agak kekuningan.

Ayam pop khas Bukittinggi

Sementara, ayam pop generasi pertama ini lebih kering dan teksturnya sedikit berminyak. Chef Rahmat menjelaskan, ayam pop ini digorengnya dengan minyak kelapa dan digoreng bukan dalam keadaan minyak yang sudah panas, menggorengnya menggunakan kadar hangat-hangat kuku, setidaknya tidak sampai yang ngegolak ala warung ayam dan pecel lele yang biasa terlihat. Tujuannya untuk mencegah supaya ayam yang terhidang tidak terlalu kering dan tidak liat.

Menu ini juga menjadi salah satu menu yang cukup “istimewa” karena dihidangkan di pertemuan kedua. Mereka yang mengikuti jamuan pertama, nihil mendapatkannya.

Kemudian ada rendang tumbua. Adalah rendang tumbuk ala Payakumbuh, lagi-lagi chef Rahmat menekankan kunci pentingnya dalam masakan ini adalah kelapa dan santan kelapa yang berkualitas. Bentukannya seperti bakso, daging sapi yang ditumbuk kemudian dibulat-bulatkan.

Rendang tumbua khas Payakumbuh

“Proses memasaknya adalah transisi antara kalio pas mau sedikit ke rendang, daging kemudian dimasukkan belakangan supaya mencegah tidak hancur” jelasnya.

Saat saya bertanya, di antara sajian menu tadi, hidangan apakah yang menjadi favorit Uni Reno, dia menjawab mantap; rendang tumbua.

Sajian rendang lainnya adalah daka daka, rendang berbahan singkong mentega. Mengunyahnya terasa tidak terlalu keras, dan cocok ditemani dengan kerupuk ikan gabus. Kerupuk yang dibuat dari daging ikan gabus, dengan keunikan yang menurut chef Rahmat, adalah jenis kerupuk yang tidak mudah gosong. Saat menguyahnya pun terasa tidak terlalu kering di tenggorokan, sehingga tidak mengharuskan minum sekian kali tegukan.

Rendang daka-daka

Lainnya juga tersedia kudapan bika talago berbahan kelapa; terdiri dari dua macam pilihan, ada yang putih versi originalnya, dan satunya agak kekuningan yang dicampur dengan pisang ambon.

Tidak ketinggalan ada pula ikan bilih khas danau Singkarak, yang saat mengunyahnya mengingatkan seperti ikan wader, sajian ikan sungai di warung pedesaan khas Magelang. Ada pula sambal lado merah petai, yang pas dikawinkan dengan nasi pulen berbahan beras menthik susu.

Perbincangan dan mengunyah santapan pilihan malam itu terasa mengalir, tentang pengalaman-pengalaman dari peserta komunitas Jalansutra, juga pengalaman chef Rahmat dan Uni Reno sendiri, soal masakan dan perjalanan mereka menelusuri nagari dan resep-resep surgawi. Bersantap malam itu cukup menjadi penawar yang syahdu di tengah chaos lalu lintas Jakarta.

Sampai jumpa di kesempatan berikutnya, salam maknyus!

***

Penulis: Husni Efendi
Foto: koleksi Suluh Tripambudi Rahardjo dan Christina- Komunitas Jalansutra

Post Comment