Acara

Masak Sehat Dengan Glutamat

Masak Sehat Dengan Glutamat

Penulis: Harry Nazarudin

Rabu, 27 September 2023. Kota Jakarta lagi-lagi memecahkan rekor hawa panas, sehingga cuaca kering dengan angin semilir menerpa kami ketika tiba di Almond Zucchini Cooking Studio, Jl Brawijaya , Jakarta Selatan. Lalu kemudian, tokoh-tokoh kuliner Indonesia susul-menyusul berdatangan ke Almond Zucchini: dari Chef Yuda Bustara, Chef Bara Pattiradjawane, Chef Ragil Imam Wibowo, sampai Bu Sisca Soewitomo dan Chef William Wongso. Tak ketinggalan beberapa tokoh pencerita kuliner seperti Ade Putri Paramadita dan Vita Datau. Ada satu tema tabu yang mempersatukan kita malam itu: Em Es Ji! (Bayangkan Uncle Roger yang mengatakannya!)

Menyebut nama bahan ini saja sudah “angker” sulit membayangkan judul acara “Masak Sehat dengan MSG” bukan? Itulah sebabnya, saya dan Irvan Kartawiria (duo Kimiasutra) memutuskan mengganti nama MSG dengan “Glutamat”.

Konsep acara malam itu adalah “gastrolecture” alias santap malam sambil belajar tentang MSG. Acara ini digagas oleh Gerakan Fermentasi Nusantara (Fermenusa) dan Kimisutra, dan didukung oleh P2MI (Perkumpulan Perusahaan Monosodium Glutamat dan Asam Glutamat di Indonesia).

Suasana gastrolecture alias santap malam sambil belajar tentang MSG

Mengapa Fermenusa? Tahukah kamu bahwa kristal MSG dibuat melalui proses fermentasi? Ya! Gula tetes tebu digunakan sebagai makanan bakteri, yang kemudian menghasilkan protein bernama glutamat ini. Memang, bahkan tubuh kita sendiri menghasilkan glutamat. Dan banyak bahan alami yang mengandung glutamat, seperti tomat, keju, termasuk air susu ibu (ASI).

Irvan Kartawiria memulai acara dengan Stand Up Comedy soal MSG, yang disusul dengan paparan singkat mengenai struktur kimia dan asal-usul MSG. Ternyata teknologi produksinya berasal dari Jepang, dan juga umum digunakan dalam masakan Jepang. Tetapi, tidak pernah ada isu negatif MSG di Jepang! Aneh ya?

Di akhir bagian pertama, peserta melakukan eksperimen bersama untuk mengetahui cara kerja MSG. Melalui tiga gelas berisi air gula, air garam, dan air MSG, peserta melakukan blind tasting dan bisa merasakan bahwa MSG berfungsi sebagai penguat rasa. MSG-nya sendiri tidak kentara rasanya!

Lalu, mengapa MSG akrab dengan makanan Indonesia atau Asia, dan bukan makanan Barat? Pertanyaan ini dijawab di bagian kedua. Ternyata, penyebabnya adalah perbedaan budaya makanan pokok! Untuk yang makanan pokoknya berupa gandum atau roti, kebanyakan makanannya tidak menggunakan banyak air. Sementara yang bermakanan pokok nasi, biasanya lauknya pun banyak menggunakan air. Nah, MSG sebagai garam, hanya bisa bekerja di lingkungan basah atau banyak air! Itulah sebabnya croissant  yang ditaburi MSG tidak akan tambah enak, berbeda dengan soto betawi, misalnya.

Makanya, MSG lebih cenderung digunakan di budaya kuliner basah seperti China, Jepang, dan Indonesia, terutama di kuliner tradisional seperti soto dan sop. Oleh karena itu, penting untuk kita perjuangkan!

Bagian ketiga menjawab pertanyaan yang sejak awal sudah menggema: apakah ada hubungan antara MSG dan kesehatan? Ternyata ada. Sebagai penguat rasa, justru fungsi MSG adalah mengurangi asupan gula, garam, dan lemak. Artinya, memasak tidak perlu terlalu banyak garam dan gula, untuk mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes. Cukup sedikit saja, lalu ditambahkan MSG sebagai penguat rasa. Cukup!

Tetapi, bukankah MSG juga mengandung sodium, sama seperti garam? Ya, tetapi karena perbedaan berat molekul antara Klorida dan Glutamat, kandungan sodium dalam MSG kira-kira hanya sepertiga dari kandungan sodium dalam garam.

Di bagian inilah, saya dan Irvan sebagai pemandu acara memperlihatkan tabel perbandingan penggunaan garam dan gula untuk makanan yang dihidangkan: bahwa dengan penggunaan MSG, jumlah gula dan garam bisa dikurangi dengan rasa yang tetap enak. Ooo, jadi ini toh, caranya masak sehat dengan glutamat!

Irvan Kartawiria dan Pak Satria dari P2MI

Lalu, darimana isu yang beredar luas bahwa MSG tidak baik untuk kesehatan, khususnya di Indonesia? Pertanyaan ini dijawab dengan lugas oleh Pak Satria G. Pinandita dari P2MI:

“Pernah ada paper mengenai dampak negatif dari MSG yang dikenal sebagai ‘chinese food syndrome’, tetapi paper ini kemudian dicabut karena bukti ilmiah yang tidak akurat” katanya.

Dari sinilah mitos mengenai dampak negatif MSG mulai menyeruak khususnya di Indonesia, dan masih ada sampai sekarang.

Sebagai negara yang memiliki tanaman tebu yang melimpah sebagai bahan baku MSG, maka Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi pelopor dalam riset, inovasi dan eksplorasi MSG. Apalagi, teknologi fermentasi sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu di Nusantara! Tak heran kalau kehadiran MSG dalam hidangan malam itu tidak mengganggu, bahkan menambah selera.

Chef Agustiah (Tia) menjelaskan pemakaian msg dalam masakan

Chef Agustiah yang akrab dipanggil Chef Tia menyiapkan siomay dengan bumbu kacang untuk appetizer, timlo solo untuk makanan utama, dan dekonstruksi kolak untuk sajian penutup;

“Saya punya misi mengurangi gula dan garam dengan MSG, terutama pada kudapan dan jajanan. Sebab, justru disitu banyak asupan yang sedikit-sedikit lama-lama jadi penyakit!” kata Chef Tia di akhir acara.

Pantas saja, selain hidangan utama, Chef Tia menyiapkan ketimus mini, pastel, bakwan udang yang sedap, serta banyak kudapan lainnya. Ya, kudapan adalah budaya Indonesia juga!

Yuk, memandang Glutamat lebih cermat, dan pakai Glutamat secara tepat!

Salam,

Harnaz

***

Beberapa foto hidangan (kredit foto: Meru) 

Timlo Solo
Pastel-dan-saucijzen-brood
Dessert dekonstruksi kolak

Post Comment