Narasi

Membongkar Salah Alamat Monosodium Glutamat & Wajah Berbeda Hidangan Kaki Lima

Membongkar Salah Alamat Monosodium Glutamat & Wajah Berbeda Hidangan Kaki Lima

Penulis: Husni Efendi

Di sebuah meja lazy susan, David Chang, seorang chef dan salah satu karib Anthony Bourdain itu berbincang dengan beberapa koleganya, di antaranya adalah Serena Dai (penulis kuliner, editor Eater New York) dan Ed Schoenfeld (Restaurateur – Manhattan’s Red Farm).

Suasana tersebut terekam dalam dokumenter Ugly Delicious – Fried Rice, secara umum mereka membahas masakan-masakan Chinese food dan sekian hal yang melingkupinya; dari soal kultur, persepsi, bahkan diskriminasi dalam deretan piring dan mangkok sajian-sajian tadi.

Salah satu tema perbincangan mereka yang menarik adalah saat membahas MSG (monosodium glutamat). Tema perbincangan itu bermula ketika fenomena di Amerika, saat orang berpikir tentang restoran mewah, yang terbayang biasanya adalah restoran Prancis atau Jepang, tetapi jarang terpikir itu adalah restoran Chinese food.

Satu hal yang menurutku paling kacau, tentang nasi goreng, Chinese food, atau makanan Asia secara umum adalah soal MSG. Jika MSG disalahkan, maka semua bahan masakan juga harus pula disalahkan. Saat orang memarut parmesan untuk pasta, itu sama juga dengan memberi MSG” tegas David Chang.

Kemudian dengan sedikit emosional dia menambahkan;

“Ini adalah sindrom restoran China, bukan sindrom MSG”

Dokumenter Ugly Delicious – Fried Rice

Setelah menonton dokumenter tersebut, saya membayangkan di Indonesia situasinya sepertinya sedikit berbeda, jika masakan-masakan Chinese food sudah banyak yang terakulturasi dengan banyak kuliner Nusantara, tapi saat membicarakan MSG atau lebih umum disebut sebagai micin, konotasinya seolah menjadi bahan yang berkontribusi membuat otak menjadi lemah.

Di beberapa guyonan yang melintas di lini masa media sosial, micin dikaitkan dengan mereka yang melakukan hal-hal bodoh, dengan imbuhan komentar sebagai; “generasi micin”

Setidaknya, sejauh ini saya belum mendapatkan informasi atau penelitian valid terkait sejauh mana MSG membuat fungsi otak menjadi lemah. Atau lebih jauh dari itu, saya berpikir kenapa di antara sekian banyak bumbu dalam masakan, micin menjadi sasaran tembak yang sering menjadi bahan bully-an?

Upaya Berpikir Rasional

Rabu kemarin (11/12/2024), Forum Fermentasi Nusantara dan Perkumpulan Pabrik Mononatrium Glutamat dan Asam Glutamat Indonesia (P2MI) melakukan sharing soal penggunaan MSG dalam makanan di  Studio Kreasi Sasa, Jakarta.

Duo Kimiasutra, Irvan Kartawiria dan Harry Nazarudin mengajak berdiskusi dengan sekian eksperimen yang dilakukan, untuk membongkar spektrum “lezat” sekaligus mencoba mengurutkan bagaimana proses rasa “lezat” ini bisa terjadi dalam masakan, dan kaitannya hal tersebut dengan MSG.

Secara umum, menurut Harnaz, sapaan akrab Harry Nazarudin, MSG adalah produk fermentasi yang bermula dari tetes tebu menggunakan mikroorganisme, dan kemudian dilanjutkan dengan proses isolasi dan purifikasi. Proses ini menurutnya, hal yang juga dilakukan dalam srtuktur pembuatan wine.

Garis besarnya, Harnaz ingin mengatakan bahwa lelaku edukasi ini dilakukan untuk menelaah soal mitos dan persepsi yang ada di masyarakat mengenai MSG dalam masakan.

Senada yang dikatakan David Chang di atas, Irvan dan Harnaz kemudian juga menjelaskan bahwa sebenarnya cara kerja MSG sama seperti penggunaan mentega dalam kuliner Barat, sebagai penguat rasa yang akan bekerja optimal dalam dosis tertentu.

Duo Kimiasutra, Irvan Kartawiria dan Harry Nazarudin, memaparkan presentasi tentang fenomena MSG 

Secara umum glutamat alami ini juga bisa ditemukan di banyak bahan makanan seperti kecap, terasi, rumput laut, tebu, jengkol dan juga di beberapa sayuran tertentu seperti tomat, jamur dan lainnya. Bahkan zat ini pula terdapat secara alami pada tubuh manusia, seperti di Air Susu Ibu (ASI).

Hal yang menarik dari penjelasan Harnaz dalam presentasinya juga adalah soal bagaimana pro kontra MSG ini dia telaah dengan “pertempuran Barat vs Timur”. MSG seperti diketahui identik dengan makanan-makanan Asia, yang secara tekstur melebur ke masakan karena rata-rata kuliner Asia banyak yang basah dan berkuah, dan di situlah kerja MSG menjadi berdaya.

Sementara untuk kuliner Barat, masakan-masakan Eropa katakanlah, yang dominannya cenderung kering, penguat rasanya lebih masuk menggunakan butter.

Irvan kemudian menimpali, monosodium glutamat adalah penguat rasa yang memiliki kandungan sodium 30% lebih rendah dari garam, dan bisa mengurangi pemakaian garam dan gula dalam olahan masakan, yang justru membawa citarasa yang lebih lezat dan sehat.

Irvan juga menambah literatur kekayaan rasa yang tidak hanya berhenti di pakem lima struktur rasa saja seperti; asam, asin, manis, pahit, dan umami. Namun juga membedahnya dalam spektrum rasa yang lebih luas, dan dia kerangkakan dalam empat poin utama; taste, aroma, mouthfeel, dan memori.

Ringkasnya, rangkaian percobaan dan presentasi yang dilakukan Harnaz dan Irvan, menitikberatkan tentang pemakaian glutamat yang tepat justru dapat membantu mengurangi konsumsi gula dan garam. Dengan kata lain, dalam penggunaan takaran gula atau garam yang lebih sedikit, cita rasa masakan akan tetap terasa lezat setelah dibubuhi MSG.

Jika ingin mengacu ke soal standarisasi kesehatannya, sesuai ketentuan pemerintah di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012, pemakaian MSG dinilai aman untuk dikonsumsi. Sementara jika menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), besaran asupan harian MSG yang aman bagi tubuh manusia adalah 0-12 miligram per kilogram berat badan.

Fine dining imajinatif ala chef Kongs

Paparan Irvan dan Harnaz yang melalui rangkaian eksperimen dan presentasi itu cukup membuat penuh asupan di otak, bahkan beberapanya untuk saya seperti nge-hang, apalagi saat bagian membicarakan teknis dan struktur rumus kimia. Di sisi lain perut sudah terasa kosong, dan tepat saat waktu menunjukkan tengah hari.

Di situlah kemudian peran Rendy Kongs, atau akrab disapa chef Kongs muncul menjadi semacam penyelamat. Deretan sajian fine dining telah disiapkannya bersama dengan timnya dan dibantu oleh para mahasiswa dari program perhotelan dan bisnis Universitas Podomoro.

Sekian sajian disajikan berurutan, hidangan pembuka adalah tom yam khai; hidangan chicken mosaic yang terlihat cantik, terbalut rumput laut, dan saat dicecap terasa segar, dengan hentakan rasa pedas dan asam yang seimbang, juga menguar samar aroma sereh. Ditambah dengan bentukan tuile yang memprovokasi dan tidak sekadar hanya menjadi pajangan. Tidak butuh waktu lama untuk menandaskannya.

Sajian fine dining; tom yam khai

Selanjutnya, hidangan utama tersaji dengan penggambaran yang tidak terbayangkan sebelumnya, jika itu adalah wujud lain dari soto Betawi. Bagaimana tidak, soto Betawi ala H Maruf atau H. Oji Pasar Baru,  seolah mengejawantah dalam alam yang berbeda, dengan kreasi dan imajinasi yang aduhai;

Asupan grilled wagyu beef, smoked duck, charcoal noodle, dipercantik dengan edible flower, dan sentuhan sago mutiara crackers sebagai pugasannya, cukup membuat lama terpaku saat memandangnya, alih-alih untuk segera menyantapnya.

Saat menyuapkannya ke dalam mulut pun, sensasi smoked duck yang menyatu dengan kuah santan berempah ini membuat saya bingung untuk mendeskripsikannya. Terasa menjadi leburan rasa yang unik, dan saya penasaran bagaimana chef Khongs awalnya mengimajinasikan hidangan ini.

Sajian fine dining: soto Betawi

Terakhir sebagai hidangan penutup adalah suguhan es doger. Tolong jangan dibayangkan ini terkemas dalam wadah gelas plastik yang biasa kita nikmati dari mamang-mamang yang lewat dengan gerobaknya saat matahari terasa terik.

Jika biasanya asupan wajib dalam sajian ini adalah tape yang melunak, chef Khongs, sebagai kreatornya membubuhkan singkong fermentasi dalam tahapan yang lain. Sehingga teksturnya masih terasa renyah digigit, dipercantik dengan tampilan nanas crackers, dan kombinasi edible flower berwarna ungu, namun tetap menyertakan kontur tradisonalnya, dengan tidak lupa membubuhkan ketan hitam.

Belum cukup, chef Khongs meminta sebelum menyantapnya, untuk menaburkan MSG dengan takaran seuprit ke dalam cream yang berwana pink di tengah sajian tersebut. Hasilnya, ada semacam rasa gabungan dari gurih kelapa yang kemudian menyatu dengan serbuk kristal tadi, dan membawa kepada dekonstruksi rasa yang berbeda.

Chef Bara Pattiradjawane, yang turut mencobanya pun berkomentar soal hidangan terakhir ini, di saat dessert tidak terlalu familiar untuk orang Indonesia, tampilan es doger ala chef Khongs ini menjadi menarik, dengan mengangkatnya sebagai wajah yang berbeda; berpijak ke rasa tradisional, dengan tampilan menawan, dan menggabungkannya kemudian sebagai dessert yang menggunakan banyak elemen.

Sajian fine dining: es doger

Saat semua sudah tandas, di hari itu saya seperti semakin meyakini bahwa kuliner bisa hadir menjadi sekian wajah dalam lintas keilmuan dan sisi lain cerita kehidupan. Tabik, untuk mereka yang sepenuh hati melakukan hal-hal tadi.

Mari makan, rasakan, dengarkan dan ceritakan.

***

*foto header karya: @nathansantoso

Post Comment