Ulasan

Mie dan Ibadah Kuliner

Mie dan Ibadah Kuliner

 

Penulis: Husni Efendi

Saya lupa membaca tulisan siapa, kurang lebih redaksionalnya berbunyi:

“Jika Portugis-Spanyol, Belanda, Arab, masuk nusantara membawa agama-agama samawi. Tionghoa masuk nusantara membawa citarasa kuliner.”

Bahkan, seringnya “agama kuliner” menjadi perekat di meja makan, perbincangan tentang menu masakan, cara pengolahan, aroma dan bumbu yang teresap, lapar yang menghajar, dan mengunyahnya dengan khusyuk, menjadi ibadah tersendiri.

Mie, menjadi pilihan untuk penawar hari yang mendung sedari pagi.
Layaknya ibadah yang biasanya banyak mengalami rintangan, begitu pula saat ingin menikmati mie golek yang legendaris.

Menerobos macet jalan Transyogi, dan keterangan full setelah sampai, dengan imbauan untuk menjaga protokol kesehatan, dimaklumi sambil bengong.

Menunggu sepertinya bukan pilihan tepat, banting setir mencari mie yang lain.
Dewi menawarkan, mie ayam Sunter 89 menjadi pilihan. Lapar dan hujan yang meradang, tak membuat berpikir panjang.

Pangsit goreng panas dengan bumbu kacang, mie keriting kenyal, pangsit rebus, cacahan daging, diaduk dan disiram dengan kuah harum kaldu dan bawang yang mengepul.

Saya belajar menahan mengucapkan enak atau tidak enak untuk suapan masakan yang terhidang.
Keringat di dahi, rada meler di hidung, ludah yang terasa mengental, dan seruputan kuah penghabisan di ujung mangkok, menjadi bukti dengan bakmi pun, hidup bisa semenyenangkan ini.

Terima kasih pengolah mie, terima kasih pencipta hasil bumi, sehingga segala bahan semangkok mie menjadi tersaji.

Selamat Imlek untuk yang merayakan, terima kasih untuk leluhur kalian yang mengenalkan mie.

Post Comment