Narasi

Dari Kambing Guling Hingga Bebek Peking: Menu Peranakan & Memori yang Menolak Terasing

Dari Kambing Guling Hingga Bebek Peking: Menu Peranakan & Memori yang Menolak Terasing

Penulis: @husni.efendi 

Mangga Dua, kawasan yang dalam kepala saya memunculkan memori untuk mencari barang elektronik aneka rupa. Kawasan yang meninggalkan cerita panjang jalur perdagangan sejak era kolonial.

Ramadan, sore hari kemarin menjejakkan kaki di pelataran Novotel Mangga Dua Square, dan langsung menuju lantai lima di food exchange, tercium beberapa aroma yang menguar dari dapur dan tampak beberapa chef yang sedang sibuk menyiapkan hidangan berbuka puasa.

Gapura dengan tulisan “kuliner peranakan” saat memasuki area itu menjadi bayangan santapan yang menggiurkan.

Beberapa meja sudah terlihat dengan nama-nama pereservasi. Hidangan buffet berderet dengan menu yang disiapkan tidak hanya dalam satu meja. Puluhan menu dan minuman yang niscaya membuat kebingungan saat memilihnya.

Konsep yang diusung dengan tema kuliner peranakan iftar buffet, berkolaborasi dengan Nusadrasa menghadirkan berbagai menu seperti bebek Peking, kambing guling, mie lamien, iga bakar madu ketumbar, dimsum corner, aneka sajian takjil, dan puluhan menu lain yang sepertinya mustahil disebutkan satu-persatu.

Beberapa wajah chef yang sibuk tersebut, tampak familiar karena beberapa kali melihatnya dalam program siniar.

Tidak lama kumandang Maghrib terdengar, ornamen bedug yang terletak di salah satu sudut ruangan, dan awalnya saya anggap pajangan, ternyata juga fungsional dengan ditabuh beberapa kali. Pengunjung tampak memadati area buffet, saya memilih menyingkir sebentar ke area dekat dapur.

Terlihat beberapa chef yang tampak lebih relaks dibanding dengan beberapa menit sebelumnya. Meskipun juga masih menyisakan kewaspadaan, sembari melihat karya olahan mereka yang sedang dipilih dan antri untuk dinikmati.

Justru di kesempatan tersebut, saya mempunyai waktu untuk menyapa mereka dan bersalaman; ada chef Theo, chef Wira, chef Lukman dari Nusadrasa, ada pula chef Nurdiyanto dari Novotel Mangga Dua Square sendiri.

Saya meniatkan diri untuk tidak menyendok nasi saat menyantap beberapa hidangan unggulannya. Eksplorasi rasa dari olahan masakan mereka menjadi sesuatu yang ingin saya nikmati secara tumaninah tanpa harus terdikstraksi oleh nasi.

Tidak mudah sepertinya, sekalipun sekadar memilih hidangan-hidangan unggulan. Saya tahu kapasitas berapa banyak yang harus masuk ke perut, namun di sisi lain, saya juga begitu ingin tahu dengan beberapa detail rasa di tiap masakan.

Menyendok sedikit ke piring ukuran sedang menjadi pilihan, dan beruntungnya saya sekaligus ditemani oleh beberapa chef tadi, untuk duduk bersama dan berbincang.

Pilihan pertama adalah daging rempah yang dengan semangat saya kunyah. Komposisi daging yang terasa unik, tekstur seperti antara kalio sebelum bertransformasi ke rendang, namun sekaligus terasa samar dengan sedikit sensasi seperti semur. Campuran santannya yang ringan saja, menghasilkan rasa daging rempah yang tidak begitu kuat.

Daging Rempah
Daging Rempah

Chef Theo menjelaskan, alasan daging rempah dibuat demikian adalah supaya semua orang nyaman memakannya.

Dilengkapi taburan rice crispy tipis yang seperti menegaskan, daging rempah ini memang diolah sedari awal dengan komposisi yang diniatkan light, namun berbekal bumbu dasar layaknya rendang; bawang merah, bawang putih, kayu manis, kapulaga, bunga lawang.

Meskipun masakan olahan chef Theo tersebut dibuat dengan jejak rasa yang ringan, namun ternyata menyimpan memori yang kuat. Dia bercerita olahan daging rempah tersebut terinspirasi dari kakeknya yang sering membuatkan masakan tersebut untuknya.

Olahan yang berkelindan dengan kenangan, sepertinya menjadi masakan dengan sensasi yang sulit untuk diprotes, karena di dalamnya sekaligus memasukkan taburan bumbu cerita kehidupan.

Kemudian saya menjajal laksa lemak udang. Menyeruput kuahnya yang pekat dan terasa menghujam aroma ebinya. Kali ini chef Nurdiyanto menjelaskan, bahwa laksa tersebut lebih mengiblat ke peranakan ala Singapura.

Campuran mie, irisan tahu berbentuk dadu yang digoreng, telur puyuh, cumi yang diiris persegi panjang, namun juga mengetengahkan tauge segar yang seperti membumi dengan sentuhan ala Sundanya. Bagaimanapun, laksa, dalam kepala dan lidah saya seperti identik ala jamuan dari wilayah Bogor, dengan taste yang biasanya lembut, dan kuah yang tidak terlalu pekat.

Untuk menu berikutnya, lebih terasa kental dengan ambiens Mandarinnya. Apalagi kalau bukan bebek Peking. Chef Nurdiyanto mengungkapkan, tidak ada resep rahasia dalam membuat masakan tersebut;

“Umum saja, yang diskip adalah arak”

Bebek Peking

Hal tersebut tentu menjadi pilihan logis sebagai bagian dari menu dengan konsep untuk sajian berbuka puasa. Selebihnya adalah campuran saus hoisin, dan proses memasak yang membutuhkan enam jam untuk memarinasi, kemudian disiram air panas supaya kulit bebeknya tetap kokoh.

Lantas dicampur dengan  pemanis yang menggunakan maltose. Sudah selesai? Tentu saja belum, proses yang kemudian masih memerlukan daging bebek yang perlu digantung, hingga kemudian baru dipanggang setelah pagi datang.

Total pemrosesan panjang bebek Peking yang memerlukan belasan jam tersebut, tak perlu waktu lebih dari lima menit untuk menikmati dan menandaskannya.

Menu lain yang aftertaste-nya terasa kuat di lidah saya adalah iga bakar madu ketumbar. Pemrosesan daging sapi yang membutuhkan waktu sekian jam, lantas menggunakan chiller, dan bertarung dengan suhu ruang untuk menghasilkan daging yang terasa empuk. Uniknya adalah highlight dari ketumbar, yang sangat sinkron dengan selera lidah saya.

Iga Bakar Madu Ketumbar

Baluran madu rahasia, kecap manis, dan minyak bawang, menghasilkan rasa daging yang manis aromatik. Rasanya kuat dan berbanding terbalik dengan daging rempah sebelumnya yang di awal tadi saya kunyah.

Ada pula kambing guling yang saya cecap beberapa keratnya, menyibakkan keterampilan pembuatnya yang paripurna, dengan tidak meninggalkan prengus, meskipun hanya berbekal kunyit yang samar dan jauh dari aroma asam cuka.

Saya tidak menyantap semua menu yang tersajikan tentu saja, rasa kenikmatan masakan duniawi yang juga sekaligus dengan tambahan gizi dari penuturan beberapa chef yang tidak pelit berbagi, tentang proses di balik hidangan-hidangan tadi.

Kambing Guling

Salah satunya dari chef Wira, chef traveller yang piawai menghubungkan makanan dengan sisi sejarahnya. Dalam tema kuliner peranakan ini, dia mengungkapkan bahwa budaya peranakan adalah budaya unik yang ada di Nusantara. Hal tersebut adalah hasil akulturasi atau percampuran dari budaya Tiongkok, budaya lokal Nusantara, dan budaya Eropa.

Menurutnya, peranakan bukan lagi soal keturunan darah, namun sudah berbicara soal budaya. Dan karena berbaur dengan budaya lokal, budaya peranakan yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda satu daerah dengan lainnya. Semua tergantung kondisi geografis dan budaya setempat.

Aneka Sambal Nusantara

Pulang dengan kondisi perut dan ruang pengetahuan terisi, sepertinya menjadi kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang saya tahu, hasil dari proses perjuangan panjang para pengolahnya, deretan chef dan kru dapur yang menghidangkannya.

Layaknya cerita kecil dari chef Theo dengan tato yang menghiasi pergelangan tangannya, dan menyimpan cerita dari luka bakar di beberapa ruasnya, dan diungkapkannya sembari tersenyum.

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

***

Post Comment