Narasi

Gudeg Bu Tinah: Upaya Jalan Tengah Menyesuaikan Rerata Lidah Jakarta

Gudeg Bu Tinah: Upaya Jalan Tengah Menyesuaikan Rerata Lidah Jakarta

Tidak banyak yang berubah, semenjak sekian tahun lalu saat kami terakhir ke sini. Waktu itu beberapa kios di sekitaran stasiun Gondangdia sedang dalam tahap penataan, tak terkecuali kios dari Gudeg Bu Tinah yang kemudian juga bergeser sekian meter dari tempatnya semula.

Keramaian pengunjung warungnya tidak berubah, apalagi jika saat jam makan siang, dan terlebih ketika akhir pekan.  Sajian gudeg dan kerabatnya bisa ludes sebelum jam 12 siang.

Patokan ke sini, hanya cukup berjalan kaki beberapa meter saja setelah turun dari Stasiun Gondangdia. Deretan kios warungan berderet di situ, dan salah satunya adalah warung Gudeg Bu Tinah yang menempati dua kios untuk usahanya.

Tempatnya tidak terlalu luas, dengan diameter jalan pas-pasan, yang selain diisi pengunjung, juga dilewati oleh mereka yang hilir mudik ke stasiun, ataupun gerobak dorong, motor, musisi jalanan yang berlalu lalang, dan seperti pemandangan khas yang menyatu dengan nuansa gudegnya.

Sesekali, suara kereta api yang lewat di atas warung membawa suara gemuruh, bersahutan dengan pengeras suara dari bagian informasi kedatangan dan keberangkatan kereta api jalur-jalur penyangga Jakarta.

Kami berbincang dengan Mardina, anak pertama Bu Tinah yang bertanggung jawab dalam urusan kasir. Tentang usaha ibunya yang sudah dirintis, bahkan sejak Ibu Tinah masih berumur 10 tahun.

Kami juga berbincang dengan Pak Ario, salah satu juru masak andalan Bu Tinah yang sudah sekian puluh tahun ikut dengannya. Berbincang tentang ketelatenannya dalam menjaga marwah gudeg, dan setia sebagai tangan kanan Bu Tinah dalam menjalankan misi meramu sajian gudeg dan tambahan-tambahannya.

Di sela-sela perbincangan tersebut, kami sekaligus menyantap kenikmatan Gudeg Bu Tinah, yang untuk ukuran lidah kami terasa pas karena tidak begitu memunculkan dominasi rasa manis. Gudeg Bu Tinah memang mengakui mengolahnya sudah disesuaikan dengan rerata lidah orang Jakarta. Dan di situlah peran rasa pedasnya muncul dalam kreceknya. Krecek yang menampilkan tekstur mengembang yang menggoda.

Bahkan untuk ukuran kami pun, tanpa harus menambahkan sambal, sensasi pedas dari kreceknya sudah cukup. Namun seperti kurang afdhol juga jika tidak meyendokkan sambal yang sudah disediakan. Perpaduan pedasnya kemudian malah menjadi beragam, pedas dari krecek dan sambalnya membawa pembawaannya masing-masing.

Jika masih kurang pun, cabai rawit beberapa biji yang menyembul layaknya seloongsongan peluru itu siap dikunyah dan tak perlu dipertanyakan lagi sensasinya dalam membelalakkan mata.

Soal sensasi pedas kreceknya ini, kami malah teringat dengan Gudeg Bu Pudjo atau banyak orang mengenalnya sebagai Gudeg Permata, di Jogja sana. Warung Gudeg Permata, juga terkenal akan andalan kreceknya yang pedas, dan biasanya ramai saat di malam hari itu  menjadi santapan yang pas dengan udara dingin malam di Jogja.

Bedanya, Gudeg Bu Tinah mengantarkan sensasi pedas kreceknya saat siang hari di Jakarta sedang gerah-gerahnya, tentu bisa dibayangkan bagaimana akumulasi  keringat yang mengucur, akan lebih nendang ditambah dengan memesan minumnya teh panas. Kemepyar, sepertinya menjadi kata yang mewakili untuk menggambarkannya.

Di sini juga tipikal gudeg yang tidak terlalu kering, guyuran kuah kental opornya cukup mampu mengimbangi sensasi pedas dari kreceknya, sentuhan manis dalam kadar yang masih bisa kami tolerir dari irisan nangka muda berwarna coklat pekat,

Daging ayamnya yang tidak alot, lembut, dengan mudahnya terlepas antara daging dan tulangnya, yang hanya dengan melakukan perenggangan kecil menggunakan sendok dan garpu pun sudah cukup. Tidak lupa juga telur pindangnya dengan bumbu yang meresap hingga ke bagian dalamnya.

Dengan pertimbangan matang Bu Tinah yang dulu memutuskan untuk membawa variasi sendiri atas gudeg olahannya, mereka yang tidak terlalu gemar manis pekat bisa menikmatinya, dan mereka yang kangen Jogja pun tetap bisa bernostagia.

Tidak salah kemudian, jika Gudeg Bu Tinah, pada masanya, dulu juga jadi menu borongan sekian kali keluarga Cendana, mantan presiden Megawati, gubernur Anis Baswedan, dan juga tidak terhitung bisa dinikmati khalayak jelata, yang berlalu lalang di kawasan Stasiun Gondangdia.

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

Post Comment