Narasi

Bakmi Gang Kelinci: Harmoni Tiga Generasi dari Kerajaan Gang Kelinci

Bakmi Gang Kelinci: Harmoni Tiga Generasi dari Kerajaan Gang Kelinci

Jika ada tempat makan atau restoran, yang masih dijalankan oleh tiga generasi sekaligus secara bersamaan di Jakarta, tentu salah satunya adalah Bakmi Gang Kelinci Pasar Baru. Di sana kami melihat sebuah pemandangan mesra antara nenek, anak, dan cucu, yang bahu-membahu memasak dan melayani pelanggan.

Harmoni dan keakraban tiga generasi yang ditampilkan mereka bukan sesuatu yang instan, atau bahkan polesan. Setidaknya, kami menduga hal tersebut lahir dari kompromi, kesabaran, serta keuletan dari seorang nenek bernama Lay Kwie Yin, yang selama 90 tahun dirinya hidup, hingga sekarang, masih tetap setia meramu bakmi dengan guratan wajah yang sumringah. Dia seperti tahu betul tugasnya di dunia adalah membuat santapan bakmi yang menyenangkan di lidah sekaligus mengenyangkan di perut. Lay Kwie Yin, layaknya representasi manusia yang benar-benar menikmati hidup, dan paham dengan takdirnya.

Kompromi dan kesabaran yang paling esensial dia lakukan, adalah saat dirinya harus mengganti nama, di era kebijakan pemerintah dekade 1960-an, yang diberlakukan untuknya dan kebanyakan warga keturunan Tionghoa, supaya mengganti nama. Lay Kwie Yin (90 tahun), mengganti namanya dengan Padmawati Dharmawan.

Kami memanggilnya dengan sapaan Oma, wajah yang sering didominasi dengan senyuman itu menemani kami berbincang di suatu sore, ketika pengunjung restoran Bakmi Gang Kelinci sudah tidak terlalu membludak. Kami juga ditemani anak bungsunya Oma, yaitu Kenny Sukiman (63 tahun).

Sepintas, melihat dari usia mereka berdua, kami kagum dengan trengginas dan masih sat-set-nya mereka dalam bekerja. Kenny bahkan berkelakar dengan serius, dirinya bekerja 361 hari dalam setahun, di mana empat hari sisanya baru dia gunakan untuk libur, karena itu Hari Raya Lebaran dan karyawannya harus mudik.

Kesabaran lain yang harus ditelan Oma adalah susah payahnya merintis usaha sejak tahun 1957, yang dimulai dengan gerobakan dan beberapa kali berpindah tempat. Dan kemudian puncaknya di tahun 1979, laksana mengunyah pil pahit berikutnya, tempat yang dia jadikan tumpuan untuk berjualan, diminta oleh orang tuanya untuk diberikan begitu saja kepada adik lelakinya.

Oma, lantas menceritakan latar belakang keluarga keturunan Tionghoa zaman dulu, yang lebih memprioritaskan saudara laki-laki dibanding perempuan. Pergulatan batin tentang relasi dirinya dengan orang tua, dan saudaranya tersebut, sekilas mengingatkan dengan film How to Make Millions Before Grandma Dies.

Lagi-lagi Oma bersabar dan berkompromi. Dan kemudian memutuskan pindah, dan memantapkan diri atas usaha bakminya yang baru, dan sekaligus menggunakan jenama Bakmi Gang Kelinci.

Kesabaran berikutnya, jika perlu diceritakan, dan dirinya hanya menyikapi dengan tertawa ringan, adalah tentang anak sekolah yang makan berombongan di tempatnya, dan setelah selesai makan, mereka lari pergi dan tidak membayar.

Kenny, lebih banyak tersenyum saat mendengar cerita dari ibunya tersebut. Dirinya kemudian seperti meyakini, kekuatan nama adalah bagian yang tidak terpisahkan dari empunya. Tentang nama “Dharmawan” yang tersemat dalam nama ibunya. Kenny banyak meneladani sikap “Dharma” ibunya tersebut, untuk diejewantahkan melakukan banyak kebajikan dalam hidup.

Setidaknya, itu pula yang memang diajarkan oleh orang tuanya sejak dirinya masih kecil, di tempat usaha bakmi orang tuanya itu, Kenny kecil berjualan “cangcimen” (kacang, kwaci, permen) dan dia tawarkan ke tamu-tamu yang datang.

Padmawati Dharmawan (90 tahun), dan anaknya, Kenny Sukiman (63 tahun), generasi kedua Bakmi Gang Kelinci

Tempaan Zaman Perjalanan Bakmi Gang Kelinci

Mendengar nama Gang Kelinci, selain soal bakmi, juga soal lagu yang dulu dipopulerkan oleh Lilis Surjani. Dua hal tersebut berkesinambungan. Saat Oma harus pindah ke Gang Kelinci, seperti bersamaan pula, lagu itu dulu sedang marak diperdengarkan. Dengan tertawa renyah, Oma juga dengan detail menceritakan di mana tempat tinggal Lilis Surjani di kawasan tersebut. Lagu lawas itu seperti layaknya penanda zaman, tentang potret ibu kota dari sudut pandang sebuah gang.

Dan “kelinci-kelinci” dari gang tersebut beberapanya mampu membuktikan diri. Sejak 1957, Oma bersama almarhum suaminya, Hadi Sukiman, mampu tegak berdiri lebih dari setengah abad dengan membuktikan kejayaan Bakmi Gang Kelinci.

Tampuk manajemen yang sekarang diemban Kenny, sedari tahun 80-an sudah mencoba melebarkan sayap untuk tidak hanya bermain aman, menjual mie saja. Kenny seperti peka, untuk menambahkan menu dalam sajian yang ditawarkan. Alhasil sajian seperti nasi goreng, ikan gurame, ayam goreng, cap cay, fuyung hai, nasi tim, sapi lada hitam, sup asparagus kepiting, dan puluhan menu lainnya, bisa dipesan sebagai alternatif pengganti bakmi.

Tantangan logisnya adalah soal naiknya bahan baku di beberapa waktu, namun juga mereka tidak bisa sembarangan menaikkan harga begitu saja. Oma merasa setiap bahan baku naik, dirinya tidak bisa otomatis juga menaikkan harga dagangannya, ada hal yang dihindari Oma, yaitu soal pelanggan setia yang dia khawatirkan tidak berkenan.

Tidak terkecuali Kenny, sebagai generasi kedua, bahkan dirinya mengungkapkan bisa merasa sedih dan kepikiran berhari-hari, meskipun dagangannya dinaikkan harga seribu rupiah.

Jalan terakhir yang mereka hadapi jika pun harus terpaksa menaikkan harga, imbas dari kenaikan bahan baku yang tidak bisa dikompromi, mereka tetap tidak akan menurunkan porsi makanan atau kualitasnya.

Bagi Kenny, soal porsi dan kualitas sudah seperti harga mati, tidak bisa diganggu gugat.

Akumulasi Kesabaran Adalah Ketegasan

Oma bercerita tentang almarhum suaminya, Hadi Sukiman, yang bersama dengannya, awal merintis usaha bakmi, dan sedikit demi sedikit menabung  untuk mengumpulkan modal. Mendiang suaminya tersebut sebelumnya pernah bekerja dan menggeluti industri makanan di Hongkong. Karena alasan itu pula, Oma bertekad untuk membuka usaha makanan berbekal dari pengalaman, dan sedikit tabungan dari suaminya, yang saat itu bekerja sebagai pengrajin rotan di tempat orang.

Padmawati Darmawan, di masa awal-awal menjalankan Bakmi Gang Kelinci, bersama suaminya, Hadi Sukiman. *dokumentasi @bakmigangkelinciofficial

Perjalanan yang mereka tempuh, dan nyaris 70 tahun hingga kini, Bakmi Gang Kelinci masih berdiri dengan kokoh adalah sebuah pembuktian. Oma sebagai generasi pertama, menularkan etos kerja dengan sekian banyak tindakan nyata kepada anaknya, Kenny, sekaligus juga kepada cucunya, Michael Kenny Sukiman. Terobosan atau inovasi segar dan baru dari Michael ala anak muda Gen-Z pun muncul, salah satunya dengan memunculkan menu baru, misalnya nasi barbekyu.

Kini, Bakmi Gang Kelinci, di tangan-tangan dingin mereka, berhasil mempunyai 11 cabang, dan 5 cabang di antaranya ada di bawah AK Manajemen, yang langsung dinaungi oleh Kenny. Dan nyaris di setiap harinya, Bakmi Gang Kelinci Pasar Baru, selalu ramai pengunjung, terlebih jika saat akhir pekan.

Namun di tengah-tengah itu, Oma merasa resah di beberapa tahun belakangan, nama Bakmi Gang Kelinci dibajak oleh beberapa mereka yang dengan enteng ingin menebeng nama dari usaha puluhan tahun yang dilakoninya dengan jatuh bangun dan susah payah.

Saat perbincangan ini, raut muka Oma mendadak berubah, wajah yang sebelumnya sering tersenyum itu, berganti menjadi serius dan seolah ingin menegaskan, bahwa kesabaran yang ia jalani juga bisa teraplikasi dalam bentuk ketegasan, apalagi saat usahanya yang dirintis puluhan tahun seenaknya dibajak orang.

Kenny, saat mendengar keresahan ibunya itu, mengungkapkan;

“Tolong kami, untuk mengabarkan, bahwa Bakmi Gang Kelinci sekarang banyak tiruannya. Malah ada yang ngaku-ngaku Bakmi Gang Kelinci sejak 1957, dan owner-nya masih anak muda, tapi dia ngaku-ngaku sudah jualan dari tahun 1957. Aneh kan? Kalau Ibu saya yang ngomong kan meyakinkan.”  

Dengan nada kesal, Kenny menjelaskan hal itu dengan berapi-api, kemudian ibunya menambahkan;

“Makanya saya dulu malas untuk keluar untuk berbicara seperti ini. Tetapi melihat belakangan ini banyak yang ngaku-ngaku bakmi Gang Kelinci 1957, saya kasihan kepada anak cucu saya. Hal yang saya sudah perjuangkan puluhan tahun, masa dengan seenaknya mereka ambil begitu saja.”

Kenny menjelaskan, dulu ibunya saat mau diwawancara seringnya merasa enggan. Dia lebih nyaman berada di belakang layar. Tapi karena kondisi sekarang banyak yang meniru-niru Bakmi Gang Kelinci 1957, dia memutuskan untuk turun gunung.

Bakmi Gang Kelinci Pasar Baru, sejak 1957

Perbincangan dengan dua generasi tersebut, cukup membawa kami terhanyut, dari soal kehangatan relasi keluarga, tentang jalan panjang merintis usaha, juga tentang sisi-sisi emosi manusiawi yang menjadi bumbu cerita, terasa menjadi layaknya perbincangan hati ke hati yang hangat dan tidak hambar.

Persis seperti beberapa hidangan yang dibuat dari tangan mereka, setidaknya saat kami menyuapkan salah satu menu andalan di sini: Bakmi Spesial AK, dengan tekstur bakmi pipih yang relatif tebal, agak kenyal dan tidak mudah putus, ditambah pugasan berlimpah sekian macam; dari mulai ayam rebus potong berwarna putih tua, disandingkan dengan potongan ayam kecap, dan tidak cukup itu saja, masih pula ditaburi dengan jamur.

Mengunyahnya terasa menyenangkan, jamur yang seperti tetap terasa garing dan tidak lodoh, dan sekalian kami tambahkan acar cabai ke dalam mangkok bakmi yang sudah terlihat menggunung tersebut.

Saat diseruput, kuahnya yang disajikan dengan mangkok terpisah itu masih terlihat menguarkan asap tipis, dengan perpaduan rasa gurih asin dan cenderung light di lidah kami.

Tidak memerlukan waktu lama untuk menandaskannya, ruangan dengan berpenyejuk udara, dan derap puluhan orang berlalu lalang, gabungan pramusaji yang kerepotan dan pengunjung yang banyaknya seperti tidak sabaran itu, layaknya pemandangan yang tidak pernah berubah dari Bakmi Gang Kelinci Pasar Baru, dan masih sama dari sekian kali saat kami datang ke sini.

Sore merambat malam, perbincangan dengan Oma dan Kenny, ibu dan anak itu, menambahkan sensasi rasa yang lain dari olahan bakminya yang kami santap.

Melihat tiga generasi masih bersama-sama, yang masing-masingnya sudah paham dengan tugas, beserta tantangan zamannya sendiri-sendiri, Padmawati Dharmawan, seolah seperti gambaran induk kelinci yang dinyanyikan oleh Lillis Surjani, dan diikuti oleh kelinci-kelinci kecil; Kenny Sukiman dan Michael Sukiman. Mereka beriringan melayani pelanggan yang “krudak-kruduk kayak kelinci” dalam naungan kerajaan kelinci di Gang Kelinci.

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

Post Comment