Sienny, sore itu bercerita tentang jenis sayur lodeh yang asing untuk saya: jenis lodeh dengan campuran rebung dan kecombrang. Dia mengungkapkan, masakan tersebut khas dari daerah Priangan Timur.
Sienny yang lahir di Ciamis, semangat bercerita dengan logat Sundanya yang tipis, soal beberapa hari lalu pulang ke tempat kelahirannya. Dia dan keluarga berkunjung dalam rangka nyekar, atau mereka menyebutnya sebagai tradisi Cheng Beng. Sekaligus bersilaturahmi ke tempat om dan tantenya.
Tradisi yang bertepatan dengan suasana Ramadan, yang mengisyaratkan bahwa warung dan rumah makan banyak yang tutup saat siang hari.
Saat bertandang ke Ciamis, yang biasanya akan dibarengi dengan mengunjungi tempat makan, namun kali ini, Sienny cukup menikmati hidangan rumahan olahan dari tantenya di sana.
Tapi tak dinyana, hidangan lodeh dengan campuran rebung dan kecombrang membuat dirinya terpana, sesuatu yang kemudian Sienny tertawakan sendiri. Karena masa kecilnya terlalu pemilih dalam soal makanan, hingga kemudian dewasa dan baru mengetahui, lodeh khas Ciamis bercampur bahan unik yang tidak ditemukan di tempat lain.
Biasanya sayur lodeh memang umum sebagai hidangan masakan rumahan. Yang membuat tidak umum dari lodeh Ciamis ini, adalah campuran rebung dan kecombrangnya.
Sepertinya, karena sedang banyak warung yang tutup, justru membuat Sienny jadi mengetahui ada jenis masakan tersebut.
Sienny kemudian mengungkapkan;
“Palingan kalau di Ciamis ya, kalau jajan pun terbatas.”
Hidangan yang seringnya juga banyak dijumpai di Bandung –di tempat dirinya tinggal sekarang– sebut saja; kupat tahu, nasi kuning, mie baso, ayam goreng, sate, soto, serta beragam menu lain, yang lebih banyaknya juga hanya sebagai makanan klangenan masa kecilnya saja.
Jajanan masa kecilnya yang dari rasa sudah banyak berubah, mengingat generasi penjualnya juga sudah berganti. Hal yang sepertinya juga merembet ke perubahan-perubahan lain yang dirasakannya juga dalam soal transportasi. Sienny saat ke Ciamis, sekarang lebih memilih naik kereta api, dibanding dengan menggunakan mobil. Menurutnya, imbas kemacetan, dan pilihan moda transportasi yang lebih jelas waktu tempuhnya, adalah alasannya.
Kembali ke soal lodeh yang membuat Sienny takjub, adalah bagaimana rebung yang jauh dari aroma tidak sedap. Hasil dari pengolahan rebung yang fresh ala pedesaan;
“Dari petik langsung jual, dan laku saat itu juga. Jadi tidak disimpan atau direndam lama” ungkapnya.
Lodeh khas Ciamis tersebut berkomposisi: tahu, tempe, labu, jagung semi, rebung, kecombrang, pete, namun tanpa dicampur daun melinjo. Dengan kuah agak kemerahan dari ulekan cabai keriting, bercampur santan yang tidak terlalu pekat. Sienny mengungkapkan, bahwa rasa lodehnya sebenarnya secara umum sama, tapi campuran kecombrangnya membuat masakan tersebut jadi lebih wangi.


Lebih jauh saat kami berbincang tentang makanan-makanan di Ciamis dan sekitarnya, saya seperti mendapat kesan, bahwa semakin banyak menu rumahan yang dijajakan di suatu daerah, berarti tempat tersebut terindikasi semakin urban. Mungkin imbas dari kesibukan dan karena mepetnya waktu untuk memasak makanan keseharian.
Mengingat jika daerah-daerah yang jauh dari kota besar, seperti tempat masa kecil Sienny di Ciamis, makanan rumahan adalah makanan yang memang benar-benar dimasak dan dimakan di rumah, kalau pun jajan ke luar, yang didapatkan adalah jenis makanan yang memang tidak biasa dimasak di rumah.
Saya kemudian malah semakin menerawang, sepertinya mengeksplorasi masakan-masakan Nusantara itu tidak akan cukup dengan hanya bermodalkan mengunjungi warung-warung makan saja, sebab beberapa “artefak-artefak”-nya justru banyak bersembunyi di rumah-rumah warga.
Dalam kasus sayur lodeh kecombrang yang dimasak oleh kerabat Sienny di Ciamis, sepertinya malah membuka sedikit radar masakan Sunda, yang bagi banyak orang tidak terendus. Ketika misal, referensi masakan Sunda yang biasa diketahui adalah dari rumah-rumah makan Sunda seperti Ampera, dan sejenisnya, yang disajikan dengan template sayur asem.
Bahkan saya berkeyakinan, orang Sunda sendiri pun sepertinya juga tidak banyak yang mengetahui varian dari sayur lodeh dengan tambahan rebung dan kecombrang, seperti khas dari Ciamis sana.
Sienny, malah menjelaskan dengan pertimbangan logis, kenapa rumah makan Sunda tadi, biasanya lebih memilih menyajikan sayur asem dibanding lodeh; adalah karena persoalan ketahanan yang bermuara ke soal efisiensi masakan. Sayur asem lebih bisa bertahan lama dibandingkan dengan sayur lodeh.
Sayur lodeh dengan campuran rebung dan kecombrang yang disantap Sienny dan keluarganya, bertemankan sambal dadak, gepuk, tahu goreng, lalapan waluh rebus dan mentimun. Membuat saya yang mendengarnya terasa menyiksa, turut membayangkan, dan sekaligus meraba-raba rasa yang dicecapnya.


Di ujung perbincangan, Sienny masih membuat saya terkejut lagi, dia membicarakan hidangan Ciamis yang dulu dia tidak doyan memakannya. Sajian tersebut bernama sepi; olahan jengkol yang diperam dalam tanah dan kemudian dicampur menggunakan parutan kelapa.
Nanti kapan-kapan, mungkin hidangan tersebut bisa diceritakan lebih panjang lagi.
Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.
***
Penulis: @husni.efendi
Koleksi Foto: @siennylauw