Valensia Edgina dan Alyandra Katya, dua orang yang masih meneruskan bendera Lazy Susan dengan format yang lebih pakem dalam restoran bertajuk: Mari-Mari.
Saat menengok ke belakang, masih terbayang, awal saat mereka dulu bersama menginisiasi Lazy Food Club pertama kali di M Bloc Space, bersama dua karib mereka; Andrea dan Dinda. Dengan semboyan yang masih teringat segar:
“in food we trust”
Kalimat pendek yang terasa menancap dalam ingatan, dan tersemat dalam lanyard name-tag masing-masing mereka yang datang saat itu, lengkap dengan keterangan makanan dan tempat makan kesukaan. Hajatan Lazy Susan dalam format Lazy Food Club saat itu untuk ngumpul, makan, dan berbincang segala hal tentang makanan. Dan berlangsung dengan beberapa putaran, berpindah-pindah tempat, bahkan juga merambah luar kota.
Sebuah inisiasi dari mereka yang cukup membuat trenyuh, bagaimana tidak, mereka mengundang orang-orang yang sebagian besarnya adalah mereka yang tidak dikenal, namun memang seperti haus dengan semacam lingkaran pertemanan, tentang berbagi dan menyerap seluk beluk soal makanan.
Jakarta, batin saya saat itu, memang seperti tetap awet menyimpan keangkuhannya.
Atmosfir keriuhan, kemacetan, dan segala macam prasangkanya, seperti wajah dominan dalam membuyarkan sekian banyak niat cangkrukan, duduk bersama, untuk sekadar menyapa dan berbincang sebagai manusia.
Satu niat baik yang ternyata juga mewujud kepada kebaikan berikutnya, bagaimana kawan-kawan Lazy Susan saat itu, seperti sedikit mematahkan mitos kesuraman ibu kota tadi; untuk mengajak mari makan bersama, mari ngobrol bersama. Karena saya yakin, detail soal makanan dan minuman yang menjadi topik pembicaraan, sepertinya tidak akan pernah habis dikuliti.
Dan hal itu terjadi lebih dari setahun yang lalu. Transformasi Lazy Susan yang bersisa dua punggawa: Valen dan Katya, justru malah menancapkan bendera baru: Mari-Mari. Sebuah restoran dengan menu santapan Nusantara, bermantra; “Our Indonesian Food Playground”
Valen dengan tersenyum bangga pada titik itu mengungkapkan; seperti sebuah transformasi perjalanan yang dari numpang di restoran lain, sekarang sampai bisa ditumpangi restoran lain.
Mari-Mari, yang berlokasi di Jl. Gandaria 1 No.57A, Jakarta Selatan ini menyuguhkan suasana yang tidak hanya sebagai tempat mengisi perut dan melepaskan haus. Namun juga sekaligus tempat mengisi imajinasi soal makanan yang dulu ada saat masih kecil. Valen dan Katya tetap mempertahankan keyakinan mereka soal penyajian hidangan, untuk mentransformasi pengalaman makan yang didesain lebih dalam, dengan menggabungkan unsur kuliner, seni, dan entertainment.
Menu makanan yang bisa dipilih dengan sesuka hati dengan sambil bermain, layaknya membebaskan inner child yang dulu ceria atau bahkan murung. Jika masa lalu kecilnya bahagia mungkin di sini bisa disebut beromansa, namun jika dulu ada pengalaman yang pahit, setidaknya Mari-Mari seperti mengajak sisi inner child tadi untuk berbincang dalam perenungan cobek ulekan misalnya, atau dalam santapan sepiring nasi goreng.
Bahkan saat makan pun juga bisa dilakukan dengan sambil menggambar di meja makan dengan crayon yang sudah disiapkan. Sepertinya, bisa menjadi rekomendasi untuk yang kangen sering dimarahi orang tua saat makan dulu, karena makannya disambi bermain.
Valen dan dan Katya yang siang itu terlihat sibuk melayani dan berbincang kepada mereka yang datang, mereka seperti punya dua wilayah yang masing-masingnya sudah sangat paham; Katya berada di meja kasir untuk merapikan adminsitrasi dan pembukuan, sementara Valen berkeliling memastikan mereka yang datang terlayani dengan baik.
Bagaimana misalkan dia memandu ruang-ruang di dalam Mari-Mari, yang berisi 7 pos dengan cerita, detail, dan ruang yang berbeda, sekaligus juga menerangkan menu pilihan lain yang bervariatif. Beberapa pos tadi di antaranya, ada pos nasi goreng, pos kudapan, pos kriuk sampai pos racun yang kita bisa meracik dan mengulek sambel dengan bahan pilihan sendiri.
Ada kalanya, Valen kemudian duduk di depan meja saya sambil mengajak berbincang, soal keinginannya untuk mengeksplorasi Pontianak sebagai tanah leluhurunya, atau tentang nasi goreng yang mempunyai cerita panjang dalam kehidupannya, sebagai salah satu menu makanan yang termanifestasikan dalam sajian di Mari-Mari yang dihidangkan.
Rajah wajah seorang Geisha di salah satu pergelangan tangannya, sepertinya menjadi filosofi yang membuatnya mematri dalam hati untuk dengan sigap melayani.
Duo Valensia dan Katya ini, sekilas malah mengingatkan dengan Mine dan Kaoru dalam serial Izakaya Bottakuri, dua perempuan pengelola bar kecil di Tokyo yang selalu menjadi teman untuk mereka yang datang, dan santapan-santapan yang kemudian berhasil menjadi filosofi cerita dari persoalan-persoalan yang sedang dihadapi.
Mari-Mari, restoran dengan logo bunga kelapa atau biasa disebut sebagai manggar itu sepertinya menjadi pembeda sebagai sebuah restoran. Yang sekaligus menyimpan makna yang dalam sebagai simbol perayaan. Dalam khazanah gudeg pun, manggar diolah menjadi salah satu varian bahan saat kebanyakan gudeg lain menggunakan nangka muda.
Nafas perayaan sekaligus untuk menjadi hal yang berbeda, dari meminjam filosofi manggar tadi, semoga terus membawa Mari-Mari dan awak punggawanya menuju kesejahteraan.
Mari-Mari, mari datang, mari makan, mari rasakan, dan mari ceritakan.
Salam
@husni.efendi