Ulasan

Menyecap Olahan Pucung di Rumah Makan Haji Nasun

Menyecap Olahan Pucung di Rumah Makan Haji Nasun

Rumah Makan Haji Nasun, terletak di Jl. Moch. Kahfi II No.21 A, RT.11/RW.8, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

Saat memasukinya, terasa seperti sedang berkunjung ke rumah saudara, rumah makan yang yang beberapa meja dan kursi pengunjungnya menyatu dengan bangunan rumah si empunya rumah makan.

Rumah makan ini sudah berdiri sejak awal tahun 80-an, dan bisa dibilang menjadi rumah makan Betawi legendaris, yang menyajikan menu Betawi yang mulai susah ditemukan seperti gabus pucung.

Sayangnya, saat kami ingin memesan gabus pucung, menu tersebut tidak tersedia. Namun alternatifnya, bisa diganti dengan ikan lain, tapi tetap berbumbu kuah pucung.

Sejak awal tahun ini, pasokan ikan gabus terbilang tersendat. Karenanya, ikan gurame pun lebih menjadi alternatif pilihan

Bisa dimaklumi, kenapa sekarang ikan gabus semakin susah ditemui, khususnya di area Jakarta. Habitat ikan gabus dulunya banyak hidup di rawa-rawa, dan seiring kemajuan zaman tempat-tempat tadi sudah berganti dengan bangunan-bangunan yang meminggirkan ikan gabus.

Selain itu, ikan gabus juga sulit diternakkan, sehingga pasokan hanya mengandalkan dari tangkapan di sungai atau rawa.

Lengkaplah sudah, ikan gabus menjadi komoditas langka yang pasokannya tidak bisa dijanjikan.

Pucung adalah sematan nama lain dari kluwak, Jika di Sumatera disebutnya sebagai kepayang. Adanya ungkapan “mabuk kepayang” adalah idiom yang diambil dari buah ini yang memang mengandung semacam racun. Artinya buah ini memang perlu tangan terampil untuk mengolahnya menjadi campuran bumbu yang lezat ketika dimasak menjadi beberapa santapan.

Selain untuk olahan gabus pucung, kluwak, juga jamak digunakan untuk membuat rawon, dan membuahkan masakan yang  berkuah pekat berwarna dominan cokelat kehitaman.

Kembali ke olahan gabus pucung, maaf, gurame pucung yang kami santap ini, setidaknya olahan kuah pucungnya kami seruput dengan rasa kemantapan yang setengah, dan menyisakan setengah lagi menerka rasa dari ikan gabus.

Apapun itu, gurame yang menjadi penggantinya, tidak membuat kami berkecil hati.

Toh, apalah gunanya membayangkan yang tidak ada, menyerput dan menyantap hidangan di depan mata adalah pilihan paling bijaksana.

Kuah pucung yang terasa lekoh dengan keroyokan bumbu bawang merah, bawang putih, kemiri, cabe rawit, kunyit, lengkuas, kencur, dan bumbu rahasia dari Haji Nasun dan penerusnya.

Seruputan demi seruputan menyisakan perpaduan gurih dan pedas merica yang pas di lidah, juga jejak rasa yang sumir semriwing tertinggal sementara di kerongkongan, dan terasa pas dihajar dengan jeruk hangat atau teh hangat.

Kami berkunjung saat siang hari yang terik, kipas angin yang terpasang di dinding tidak cukup kuat menahan keringat yang keluar di wajah. Namun ada kalanya seruputun gurame pucung yang panas tadi dipadu dengan cuaca yang terik malah menghasilkan sensasi “kemepyar” yang bersinomim dengan sejenis kepuasan tersendiri.

Gabus pucung mempunyai sejarah panjang untuk masyarakat Betawi. Dulu, adat Betawi mengharuskan calon menantu untuk “nyorong” (mengirim) masakan gabus pucung kepada calon mertua. Bila calon menantu ingin dianggap sebagai orang yang kaya, biasanya ikan gabusnya diganti dengan ikan bandeng, yang di masa lalu dianggap sebagai ikan mewah.

Oh ya, di sini selain pucung juga disediakan olahan pecak. Dengan kuah kuning pekat yang menggoda, rasa kuah pecak di sini bisa dibilang cukup berbeda dengan pecak kabanyakan oalahan ala Betawi.  Kepekatannya adalah campuran bumbu yang digabung dengan ulekan kacang mete, kacang tanah, dan kemiri.

Jika Anda sedang berada di area Jagakrsa, mampirlah ke sini untuk menyantap hidangan Betawi yang sudah mulai langka ini.

Cerita selengkapnya olahan pucung dan pecak di RM H Nasun, beserta perbincangan dengan generasi penerusnya bisa disaksikan di kanal Youtube Folklor Rasa (https://www.youtube.com/@folklorrasa )

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

Post Comment