Narasi

Sop Kepala Sapi RM Fendi: Akulturasi Sajian Betawi & Sunda dari Ciangsana

Sop Kepala Sapi RM Fendi: Akulturasi Sajian Betawi & Sunda dari Ciangsana

Kami menyusuri Jalan Raya Ciangsana Kecamatan Gunung Putri Bogor, siang menjelang sore dan ditemani mendung yang menggelayut, tujuan perjalanan kami mencari Rumah Makan Khas Sunda Pak Fendi, dengan menu sop kepala sapinya

Mendengar pertama kali tentang sop kepala sapi ini yang terlintas di kepala kami adalah menu yang unik, menu yang jarang kami temui, dan kami tertarik untuk mencoba menyantapnya.

Alamat lengkap warung ini berada di Jl. Raya Ciangsana No.12, Ciangsana, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Pilihan waktu untuk datang ke sini setelah jam makan siang, sepertinya pilihan yang tepat karena warung sudah tidak terlalu ramai.

Penampakan warung yang didominasi cat hijau, dengan tampilan sederhana diisi dengan dua etalase kaca, di mana masing-masingnya menampilkan menu yang berbeda, andalan sop kepala sapinya ada di satu etalase, dan satu etalasenya diisi dengan beragam menu seperti pepes ikan udang goreng, tempe, ikan, ayam goreng, dan lain-lain.

Penegasan jenis masakan warung ini terlihat jelas dari spanduk selamat datang yang tertulis, Warung Khas Sunda Pak Fendi/Pak Tarin sejak 1993, dengan menu andalan mereka yang tertulis jelas: sop bening daging kepala sapi.

Tanpa sungkan kami langsung menuju satu etalase dengan potongan daging sapi yang tersaji di atas wadah anyaman bambu, dan bertemu dengan seorang bapak yang sigap dan ramah melayani.

Nama bapak tadi adalah Pak Tarin, yang menceritakan bahwa Fendi sebenarnya adalah nama anaknya yang diambil untuk nama warung, kami juga berbincang tentang cerita perjalanan warungnya, dan kenapa bagian daging kepala sapi yang dipilih untuk menu utamanya.

Pak Tarin tidak hanya meramu sop kepala sapi, namun juga merangkap kasir, yang pengerjaannya harus telaten satu-satu saat melayani pelanggannya

Pak Tarin meramu sop buatannya dengan  mengiris bagian-bagian dagingnya dengan gaya kidal, sembari kami terus berbincang, dengan aura wajahnya yang beberapa kali mengekspresikan senyum dan tertawa

Kami juga penasaran dan bertanya kenapa pilihan kepala sapi yang dipilih untuk campuran sop  buatannya, dan bukan bagian daging sapi lainnya.

Pak Tarin kemudian menjelaskan dengan singkat, karena  itu adalah bagian yang empuk untuk diolah

Beberapa tamu bahkan juga ada yang memesan hanya bagian pipi sapi  saja

Dengan bangga Pak tari mengungkapkan, sejak tahun 93 warungnya yang awalnya masih kecil dan sekarang relatif lebih besar dengan bangunan yang sudah permanen

Warungnya pun juga tidak memiliki cabang, dan hanya ada di kawasan Ciangsana

Dalam sehari pak Tarin bisa mengolah daging kepala sapi ini rata-rata 20 sampai 30 kg,  apalagi saat akhir pekan biasanya pengunjungnya membludak lebih banyak

Menu andalan di sini selain sop kepala sapi, adalah bakwan udang

Pak Tarin juga menjelaskan dengan sumringah bahwa warungnya pun juga sudah dikunjungi beberapa orang ternama, sembari dirinya menunjukkan  pigura foto orang yang dimaksud, dan gambarnya ditempelkan di dinding warung

Pak Tarin menentukan libur warungnya adalah hari Jumat, buka sejak pagi, dan warung mulai tutup menjelang Maghrib

Kami penasaran ingin menyaksikan proses bagaimana proses sop ini terhidang, dan saat   tutup panci dibuka, menguar asap tebal dari kuah sopnya, yang saat diaduk dan kemudian di sendokkan ke dalam mangkok, terlihat jelas warna yang bening, dan sekilas terlihat seperti menggunakan campuran bumbu yang minimalis

Keunggulan kuah seperti ini, menurut Pak Tarin sebagai juru masaknya, kendati sudah dingin pun kuahnya tidak akan lengket.

Kami juga ditemani oleh Kang Ade, anak dari Pak Tarin yang saat menyajikan hidangan menjelaskan beberapa sajian terdiri dari lalapan, yang juga menurut kami jarang ditemui

Seperti lalapan rebusan daun mengkudu yang disuguhkan, dengan diiringi dua macam sambal dan tertata dengan wadah cobek kecil

Satu sambal terasi dan satunya disebut sebagai sambel setan

Oh ya, ternyata kami juga masih cukup beruntung karena salah satu andalannya, peyek udangnya masih tersisa satu, dan penasaran untuk juga kami santap

Lainnya lagi yang juga dihidangkan adalah satu porsi nasi dalam wadah boboko beralas daun pisang, dan bebas disendokkan ke dalam piring sekenyangnya

Sementara suasana dengan rekaman musik alunan instrumen seruling gaya khas Sunda terputar dengan lirih, seperti ingin menegaskan bahwa yang dikunjungi adalah memang benar Warung Sunda.

Yang menarik perhatian kami juga adalah sajian tahu dan semur jengkol yang tersaji di salah satu etalasenya, yang sepertinya menjadi penanda bahwa kawasan Ciangsana adalah semacam  akulturasi dari campuran kulinner  Betawi dan Sunda, dan konkritnya teraplikasi di warung ini.

Kami tidak sabar untuk segera menyeruput sop kepala sapinya, kuah beningnya saat disendokkan ke mulut mengantarkan sensasi rasa yang ringan, namun jejak bumbunya tetap terasa membekas di lidah, mengingat sup ini tidak mengandalkan kaldu sebagai kekuatannya,  ini semacam keberanian, dan untungnya cukup terterima baik di lidah kami.

Potongan-potongan bagian dari kepala sapinya yang jadi sajian utama, dengan bubuhan irisan tomat, daun bawang, dan taburan  bawang goreng yang layaknya sebagai penggembira. Klaim beningnya pun bisa terbuktikan dengan kuah yang tembus pandang hingga ke bagian dasar mangkuknya.

Sementara dua sambalnya, sepertinya memang diperuntukkan untuk mereka yang gemar dengan pedas

Saat mencobanya satu-satu, kami tidak berani untuk terlalu banyak  mencampurkannya ke dalam hidangan.

Satu adalah sambal terasi, dengan bahan terasi yang sepertinya bukan terasi ala pasaran, dan satunya lagi sambal setan, yang hanya mendengar sebutannya pun, seperti sudah cukup jadi  peringatan seperti apa rasa pedas yang akan ditawarkan.

Yang juga unik adalah pilihan lalapan dari rebusan daun mengkudu, kami cukup penasaran karena baru pertama kali mengunyah lalapan jenis ini,

Saat dikunyah rasanya seperti gabungan daun pepaya dan daun singkong dengan tambahan sepat dan getir yang tipis dan memang cocok untuk langsung dipadukan dengan sambal.

Kang Ade menjelaskan, khasiat dari daun mengkudu ini katanya bisa menjadi penawar untuk darah tinggi.

Untuk lainnya seperti daun poh-pohan, terong lalap, dan mentimun disajikan mentah seperti pada umumnya.

Kami juga memesan pepes tahu, bakwan udang, dan tempe goreng sebagai lauk untuk menemani santapan. Tentu kami tidak berharap banyak soal kehangatan hidangan tersebut, mengingat kedatangan kami yang sudah mendekati sore hari.

Saat pepes tahu dengan bungkusan daun pisang yang sudah berubah warna itu dibuka, sajian pepes yang dijejali satu selongsong cabai di atasnya, seperti menegaskan, bahwa warung ini sepertinya terobsesi dengan rasa pedas,

Sementara bakwan udang yang tersaji sisa satu di etalase tadi, terlihat berwarna coklat tua hasil proses digoreng yang sedikit lebih lama.

Kami makan dengan urutan acak, untuk mencoba satu-satu, dan kemudian nasi yang tertuang di piring, kami guyur dengan sop daging kepala sapi, tidak lupa kami campur lalapan,

Juga ditambah pepes dan peyek udang.

Untuk semuanya terasa harmonis, sebelum kemudian sambalnya terasa menghajar dengan rasa pedas yang di atas rata-rata.

Lidah kami cukup kewalahan dengan pedas yang ditawarkan, hingga beberapa kali kami memesan teh panas untuk menetralisir dan mencairkan ludah yang seperti mengental di dalam mulut.

Total sajian yang dipesan, kami merogoh kocek Rp63.000,-

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

Post Comment