Narasi

Tergoda Jajanan Kue di Negeri Tetangga

Tergoda Jajanan Kue di Negeri Tetangga

Sekitar 20 tahun yang lalu saya pernah ditempatkan sebagai ekspatriat di Bangkok, Thailand, oleh perusahaan multinasional tempat saya bekerja dulu.

Selama 5 tahun di sana, saya cukup puas menikmati makanan Thailand, yang menurut saya merupakan salah satu kuliner terbaik dari sisi perpaduan rasa, tekstur, aroma dan penampilan.

Setelah masa tugas di Thailand selesai, saya pindah ke Selandia Baru dan memulai karir baru di bidang kuliner. Tapi saya cukup sering liburan ke Thailand untuk mengunjungi teman-teman, sekaligus melepas kangen dengan makanan favorit saya.

Saat liburan terakhir di bulan Juni 2023 lalu, saya cukup kaget melihat kue tradisional Thailand yang menurut saya berkembang sangat pesat. Seiring dengan maraknya kuliner asing yang masuk ke Thailand, seperti kuliner Jepang, Korea, French pastries, dan lain-lain.

Kue tradisional Thailand tampaknya tidak mau kalah pamor, dan aktif berinovasi agar dapat tampil percaya diri berdampingan dengan kue-kue pendatang yang banyak dijual di mal-mal mewah.

Kalau 20 tahun yang lalu saya cuma bisa membeli mango sticky rice dengan ketan berwarna putih, sekarang banyak saya temukan mango sticky rice dengan ketan yang berwarna biru dari kembang telang, dan warna hijau dari pandan.

Dan bukan hanya mangga saja, sekarang ada juga varian jackfruit sticky rice: buah nangka yang diisi ketan dengan warna warni pastel lembut, dan memberikan kontras dengan warna nangka yang kuning terang. Sungguh kreatif dan menarik!

Tidak hanya mango sticky rice saja, hampir semua kue tradisional yang saya kenal dulu ada versi modernnya, yang dari sisi penampilan sangat layak untuk bersaing berdampingan dengan French pastries, kue Jepang dan Korea yang semakin banyak dijumpai di mal-mal besar.

Tapi bagaimana dari segi rasa? Apakah kue tradisional berpenampilan modern itu masih bisa mempertahankan rasa seperti kue zaman dulu yang masih banyak dijumpai di pinggir jalan dan di pasar tradisional? Menurut saya, iya.

Inovasi berupa penampilan yang modern itu tetap diiringi rasa, yang dengan mudah saya kenali sebagai kue tradisional Thailand. Mungkin tidak sepenuhnya identik, tapi jelas ada signature rasa kue tradisional yang saya kenali, dan saya menyukainya.

Aneka jajanan kue tradisional versi mal di Bangkok

Pulang liburan, saya jadi penasaran dan tertarik untuk mempelajari perkembangan kue tradisional di negara tetangga ini, yang menurut saya menjadi semakin modern, tapi tetap memiliki identitas rasa kue tradisional zaman dulu.

Memang sejak pulang kampung ke Indonesia, sering saya merasa miris melihat kelangkaan kue tradisional kita di mal-mal besar. Walaupun sudah ada beberapa kue basah yang masuk mal, namun eksistensinya masih jauh dibandingkan kue atau dessert dari kuliner asing.

Awal Januari 2024 kemarin, akhirnya kesempatan itu tiba. Saya tinggal selama tiga minggu di Thailand untuk mengikuti kursus kue-kue tradisional Thailand, baik yang versi jajanan pasar maupun versi jajanan mal.

Bahkan saya dapat kesempatan emas untuk berdiskusi dengan beberapa pakar yang memahami perkembangan seni dan tradisi, termasuk kue tradisional di sana.

Tentang Tradisi

Salah satu tempat yang saya pilih untuk belajar kue tradisional Thailand adalah Thai Dessert Presevation Center (TDPC). Sekolah ini didirikan oleh Ajarn Chantira Navatidpanit,  di tahun 1987 atas gagasan dari salah satu anggota kerajaan, untuk melestarikan kue tradisional Thailand.

Saat ini TDPC dijalankan oleh Khun Virun Navatidpanit, yang biasa disapa dengan Kru Pank (Guru Pank). Selain mengajarkan metode klasik pembuatan kue tradisional yang diwarisi turun temurun, ternyata Kru Pank juga mengajarkan pembuatan kue tradisional versi modern.

Kru Pank dan salah satu kreasi originalnya. Memadukan kue tradisional Thailand dengan teknik kuliner Jepang dan Eropa

Terus terang saya kaget saat pertama kali belajar membuat kue tradisional Thailand di TDPC dengan menggunakan metode dan bahan baku yang saya ketahui berasal dari kuliner Perancis dan Jepang.

Lalu saya bertanya kepada Kru Pank mengapa metode dan bahan asing tersebut diajarkan di Pusat Pelestarian Kue Tradisional Thailand, bukankah ini tidak sesuai tradisi?

Kru Pank menjelaskan bahwa asal muasal sebagian besar kue tradisional Thailand adalah dari India selatan dan sedikit dari India utara. Jika sebelumnya kue lokal terbatas hanya menggunakan tepung ketan dan kelapa, atau santan, seiring masuknya agama Hindu dari India, mulailah dibuat kue-kue dengan menggunakan susu kerbau dan ghee, yang katanya sangat digemari oleh Dewa Ganesha.

Kemudian dengan masuknya pedagang-pedagang dari Eropa, repertoar kue tradisional Thailand semakin berkembang, dengan mempergunakan metode dan bahan yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Eropa, seperti tepung gandum.

Singkatnya, Kru Pank menjelaskan bahwa sejak awal, kue tradisional Thailand selalu berkembang dengan mengasimilasi bahan dan teknik baru yang masuk ke wilayah, yang sekarang disebut sebagai Thailand.

Jadi menurutnya, kue tradisional modern yang menggabungkan teknik dan bahan zaman dulu, dengan teknik dan bahan modern, itu tidak bertentangan dengan tradisi. Tetapi justru merupakan bagian dari tradisi kuliner Thailand itu sendiri, yang selalu terbuka untuk menyerap hal-hal baru.

Masih penasaran, untuk mengonfirmasi jawaban Kru Pang tadi, saya coba tanyakan pertanyaan yang sama pada teman, yang sedang mendalami Art History di Universitas Silpakorn.

Ternyata, teman saya dan bahkan profesornya pun memberikan jawaban yang pada intinya sama, bahwa masyarakat Thailand pada umumnya, sangat terbuka untuk mengasimilasi hal-hal baru menjadi bagian dari tradisi mereka, termasuk di bidang kuliner tradisionalnya.

Teman saya kemudian mengutip salah satu tokoh sejarawan terkenal, Pangeran Damrong Rajanubhab, yang pernah menyatakan:

Kekuatan dari tradisi Thailand adalah kemampuannya untuk mengasimilasi”

Beliau terkenal dengan ungkapan Prasan Prayot:

To link to be beneficial, meaning the ability to draw what is good and useful from a variety of dissimilar sources and to unite”

Suatu pemikiran yang menarik buat saya. Jika di beberapa tempat, tradisi berarti mempertahankan cara-cara yang sudah ada, dan dianggap sebagai yang paling baik dan benar (dan memiliki konotasi statis), sementara masyarakat Thailand melihat tradisi sebagai sesuatu yang dinamis, dan terus berkembang sesuai situasi dan kondisi pada saat itu.

Dengan pemahaman tradisi seperti itu, tidak heran masyarakat Thailand tidak ragu-ragu untuk menggunakan teknik dan bahan kue dari berbagai kuliner asing, untuk membuat kue tradisional versi modern mereka, seperti yang saya temui di mal-mal besar di Bangkok.

Hal tersebut seperti menjadi sebuah kesinambungan. Memang sejak pulang kampung, saya sibuk memadukan resep kue tradisional yang diajarkan oleh Ibu saya, dengan teknik kuliner barat yang saya pelajari dan kerjakan dulu di Selandia Baru.

Jadi apa yang saya pelajari dari Kru Pank dan guru lainnya di Bangkok kemarin, seperti memberikan inspirasi dan ide tambahan untuk mengembangkan kue tradisional resep Ibu saya.

Tentang Tepung

Satu hal lagi yang menurut pengamatan saya mempercepat perkembangan kue tradisional di Thailand, adalah majunya industri pendukung yang terkait.

Satu contoh yang penting adalah industri tepung. Salah satu guru saya kemarin, adalah yang juga bekerja sebagai konsultan di salah satu pabrik tepung besar di Thailand. Di mana beliau melakukan riset dan pengembangan soal tepung pre-mix yang bisa mempermudah pembuatan kue tradisional.

Beliau memperlihatkan kepada saya beberapa varian tepung pre-mix untuk kue tradisional: seperti tepung untuk kue pisang, kue semprong, dan lain-lain. “Tinggal tambah air atau santan saja,” ungkapnya.

Tidak cuma tepung pre-mix yang dikembangkan. Bahkan tepung dasar pun, seperti tepung beras dan tepung ketan juga terus diupayakan dalam riset dan pengembangannya, untuk ditingkatkan supaya lebih berkualitas.

Aneka tepung di Bangkok dengan spesifikasi yang berbeda

Selama saya kursus di sana, dari guru-guru yang berbeda, menggunakan tepung beras dan tepung ketan dengan merek yang berbeda-beda pula. Masing-masing tepung tadi memiliki karakteristik dengan kelebihan yang disesuaikan dengan kue yang akan dibuat.

Misalnya tepung yang berwarna putih cerah untuk menghasilkan khanom kluay (semacam kue pisang atau nagasari dan di atasnya ditaburi parutan kelapa) dengan warna yang indah. Atau jenis-jenis tepung lain yang misal karakteristiknya tidak mudah menggumpal, dan tidak perlu disaring, dan lain sebagainya.

Setelah selesai dan pulang dari Bangkok, dalam hati saya berharap, semoga industri pendukung kue tradisional di tanah air juga bisa semakin maju dan berkembang dengan kreatifitas yang terus tumbuh.

Semoga.

***

Penulis & Foto: Chef Tia Agustiah (Anggota Jalansutra) 

Editor: Husni Efendi 

Post Comment