Kiyo Nazuki dan Sumire Herai mengejar mimpi untuk menjadi Maiko (calon Geisha); cerita tentang persahabatan, kegagalan, dan masakan-masakan yang membuat berdamai dengan kehidupan. “The Makanai: Cooking for the Maiko House” seperti oase di tengah banyaknya film atau serial remaja yang menyuguhkan perundungan.
Hal yang membuat tertarik ingin menonton adalah karena penasaran dengan penceritaan masakannya, juga karena garapan dari Hirokazu Kore-eda, sutradara Shoplifters (2018), film yang seperti menjadi pertanyaan menohok tentang konsep keluarga yang mapan. Kore-eda, dengan beberapa karya filmnya yang lain, seperti menasbihkan dirinya menjadi sutradara film genre keluarga dengan sudut pandang yang tidak biasa.
“The Makanai: Cooking for the Maiko House” adalah serial yang juga mengurai dengan detail bagaimana sulitnya menjadi Maiko atau Geiko (Geisha), pertentangan batin, pengorbanan, atau tentang bagaimana wajah Jepang sebagai sebuah negara yang modern di dunia dengan segala sistem dan perangkatnya, namun di sisi lain juga tetap setia dengan tradisinya.
Film ini juga seperti menyuguhkan wajah Jepang dari cerita sederhana soal kedisiplinan, kebersihan, dan kredibilitas. Banyak cerita-cerita bagaimana jika kehilangan barang di Jepang akan gampang melacak dan mudah kembali, seremeh misal hanya payung. Atau bagaimana budaya malu yang menjadi tradisi, seperti pejabat publik di Jepang yang mengundurkan diri karena misal merasa tidak layak menjalankan tugas, dll.
Rutinitas Sumire dengan detail presisi latihan Maiko-nya, dan Kiyo dengan rutinitas menyenangkan berbelanja ke pasar dan memasak di dapur; menu oyakodon, onigiri, udon, dan beberapa masakan lain yang selalu tampak hangat dan mengepul, mengiringi cerita-cerita senang, haru, dan sedih dua sahabat tadi bersama orang-orang di sekitarnya.
Sederhana dan hangat.
Ada satu adegan yang menggelitik menurut saya ketika Sumire bertanya kepada seniornya, seorang Geisha bernama Momoko, saat dirinya terlihat sedih;
“Apakah kakak percaya dengan Tuhan?”
Selesai menonton serial ini, saya sedikit membatin, bagaimana cara pendidikan di Jepang membentuk karakter dan kredibilitas siswa-siswinya dan bahkan terbawa hingga dewasa, apakah melulu dengan kajian moral dan agama?
Ah lupakan, jadi lapar dan ingin mencecap udon.
***
*Sumber foto: Netflix