Pasar Baru sejak dulu sudah ternama sebagai salah satu pusat kuliner di Jakarta. Tempat berkumpulnya campuran kuliner beragam latar belakang dari pengaruh Tionghoa, sajian khas Nusantara, hingga Eropa.
Untuk mahzab yang terakhir tadi, kita bisa menemukan salah satu restoran yang termasuk legendaris di kawasan Pasar Baru, namanya adalah Tropic Restoran. Sajian yang menjadi ciri khas di sini adalah es krimnya.
Sejak awal berdiri di tahun 50-an, Mayti Imelda, sebagai generasi kedua, mengungkapkan bahwa dulu ayahnya merintis restoran ini dengan hanya menyajikan sajian es krim. Kenapa es krim yang dipilih? Menurut Bu May, begitu kami menyapa, karena di era itu tidak banyak yang menyajikan es krim sebagai menu utama.
Untuk mencapai ke ke sini, patokannya tidak jauh dari gerbang Pasar Baru, hanya perlu berjalan beberapa puluh meter saja. Namun menemukannya harus jeli, karena Tropic Restoran tidak memasang papan besar sebagai penandanya. Hanya stiker putih yang menempel di kaca, bertuliskan warna putih “Tropic: Ice Cream Palace”. Dengan latar belakang kaca berwarna gelap, yang jika dilihat dari depan, suasana di dalam restoran tidak jelas terlihat.
Saat kami masuk, aura zaman dulu yang lekat dengan restoran ini, seketika terlihat. Puluhan pasang meja dan bangku terhampar, dan sayangnya banyak yang kosong.
Di antara puluhan pasang meja dan bangku tadi, hanya ada tiga kelompok pengunjung yang datang, termasuk kami. Aura luas restoran ini, tambah diyakinkan dengan pemasangan beberapa cermin yang disematkan di bagian pinggir-pinggir tembok ruangan.
Tidak lama kami disapa dan diberikan daftar menu oleh penjaga restoran. Sajian es krim menjadi pilihan yang langsung kami inginkan, khususnya varian banana splits yang langsung kami pesan.
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu pesanan datang, sajian yang tampak membuat celegukan itu terpampang dalam suguhan di atas mangkuk lonjong bening. Es krim dengan beberapa bongkahan berbeda warna, seukuran satu jengkal tangan orang dewasa itu, terlihat begitu menggoda di mata.
Tiga bongkahan komposisi es krim banana splits yang terdiri dari rasa cokelat, kopi, vanila, dan di bagian dasarnya terdapat beberapa potongan pisang, dan menyisakan asap tipis dingin yang menguar, semakin ingin segera mengganyangnya.
Sementara di bagian atasnya, dipugasi dengan sepotong wafer susu berwana gelap. Dan disediakan juga juga 1 gelas air putih hangat, dari gelas kaca berwana cokelat khas desain lawasan, yang diperuntukkan untuk menetralisir rasa di lidah dan tenggorokan.
Saat menyecapnya, sendokan demi sendokan ke dalam mulut, kami merasakan rasa es krimnya yang lembut dan creamy, dan sengaja kami simpan agak lama di dalam mulut untuk merasakan sensasi dinginnya. Yang menarik dari peristiwa ini, jenis es krimnya tidak langsung meleleh dan menjadi air di dalam mulut. Seterusnya pelan-pelan kami kunyah, saat didorong lebih dalam lagi melewati tenggorokan, jejak es krim yang ditinggalkan tidak membuat gatal di tenggorokan, secara umum kami menangkap rasanya yang tidak membuat eneg setelah selesai menelannya.
Saat bongkahan-bongkahan es krim tadi dicampurkan dengan pisangnya, masing-masing detail rasanya tidak saling mengganggu. Variasi rasa yang pararel di dalam mulut menghasilkan sesuatu yang menyenangkan untuk terus mengunyah, hingga tidak terasa kemudian tandas.
Gaya es krimnya sendiri, layaknya es krim khas gaya klasik pada umumnya yang menghasilkan tampilan yang tidak terlalu halus –dan untuk kami tidak menjadi persoalan—dengan tekstur yang kental dan padat. Pugasan sederhana yang ditampilkan di atasnya, justru membuat kami lebih berfokus kepada susbtansi dari es krimnya sendiri, yang seperti memberi pesan untuk lebih khusyuk mengunyah di sajian utamanya, tanpa gangguan campuran ini itu.
Di sela-sela menikmati banana split ala Tropic Restoran ini, kami berbincang-bincang ngalor-ngidul soal sejarah restoran ini bersama sang empunya tempat, yaitu Bu May.
Dia mengatakan, restoran ini berawal dari Hartono, ayahnya. Sedari awal pembentukan restoran, es krim memang menjadi menu utama, dan ayahnya dulu meramunya dengan cara otodidak.
Hingga di tahun 70-an, menu-menu lain seperti bakmi, lontong cap go meh, lumpia dan deretan sajian lain mulai ditambahkan, buah dari ide ibunya. Yang seragam dari sajian di tempat ini, rata-rata semua dibuat dengan gaya homemade.
Di ujung pembicaraan, Bu May mengungkapkan, paska pandemi, area Pasar Baru tidak seperti yang dulu. Imbas dari pencopotan lampu-lampu di sepanjang area Pasar Baru oleh pihak pemda. Dia berharap, keadaan akan membaik seperti dulu, saat masa sebelum pandemi.
Total kocek yang kami keluarkan untuk menikmati es krim banana split ditambah teh kemasan, adalah Rp57.000,-
Jika kalian sedang berkunjung ke Pasar Baru, mampirlah ke sini untuk menikmati sajian es krim dengan suasana yang berbeda.
Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.