Narasi

Warteg Arumi Berkah dan Kebaikannya

Warteg Arumi Berkah dan Kebaikannya
Penulis: Husni Efendi

Sekilas tidak ada yang membedakan warteg ini dengan warteg yang lainnya. Lokasinya berada di jalan Kramat 2, Jakarta. Jika dari jalan besar Kramat ke arah Pasar Senen, lokasinya di sebelah kiri jalan. Patokannya, saat ketemu plang nama jalan Kramat 2, tinggal masuk beberapa meter.

Menu yang terhidang juga layaknya warteg-warteg pada umumnya. Bumbu-bumbu di sayurannya yang terasa lebih ringan, lauk pauk yang lengkap dari ikan, ayam, telur, sampai gorengan khas warteg.

Biasanya, saat saya masuk warteg menyapa dan memesan makanannya dengan dialek bahasa Jawa. Di sini dijawab dengan bahasa Indonesia, saya kemudian menyesuaikan.

Hingga lamat-lamat terdengar lagu “Jalir Janji”-nya Nining Meida, disambung kemudian irama Darso yang familiar dari ruangan dapurnya. Tidak biasa menurut saya, walupun juga bukan masalah besar. Kesukaan preferensi musik biasanya menjadi sisi reflektif dari yang suka mendengarkannya.

Warteg yang identik dengan daerah Pantura biasanya memutarnya lagu-lagu dangdut koplo atau pop hits Indonesia 2000-an.

Iseng bertanya ke empunya warteg, kali ini mencoba dengan pertanyaan langsung bahasa Sunda;

“Naha pak, warteg teh nyetelna Sesundaan?”

Sambil tersenyum, si Bapak menjawab:

“Abdi mah ti Subang, Cep?”

Tertawa kecil saya menimpali, sembari beberapa perbincangan dengan dialek bahasa Sunda saya teruskan. Dan cerita mengalir dari wartegnya yang mempunyai kebijakan memberikan kopi gratis untuk pengendara ojek yang makan di tempat, dan memberikan es teh manis gratis di hari Jumat.

Saya berpikir, jika produk-produk gratisan tadi ditujukan untuk trik marketing warteg ini rasanya sepertinya tidak, karena tempat makan seperti warteg, orang sudah cukup paham dengan apa yang akan didapatkan darinya. Dari soal menu, rasa, dan harga, sepertinya tidak ada yang serta merta terkejut karena hal-hal tadi di luar ekspektasi.

Untuk meyakinkan, saya bertanya;

“Kenapa kasih kopi gratis ke pengendara ojek, dan es teh manis gratis di hari Jumat?”

Kali ini si Ibu warteg yang menimpali:

“Ya biar usahanya lebih barokah saja mas, nggak semua-semua kudu nyari untung, toh dengan nyediain itu (kopi gratis untuk pengendara ojek, dan es teh manis di hari tertentu) tidak akan membuat usaha jadi rugi juga”

Tidak tahu kenapa, jawaban si Ibu warteg itu terasa tulus dan menyentuh. Saya tidak tahu apakah harus bersedih karena soal kebaikan saja masih saya pertanyakan, atau justru semakin membuat saya yakin, bahwa bagaimanapun, Jakarta tetap menyimpan kebaikan-kebaikan dengan banyak ragamnya.

Si Ibu masih menambahkan;

“Ya mas, kalau ada yang mau makan ke sini, punya duitnya cuma segini (di bawah harga standar seporsi nasi) ya tetap saya layani, palingan saya bilang sama sayur ini sama ini ya”

Saya tiba-tiba teringat dengan bentuk kebaikan-kebaikan masa lampau tentang bagaimana di depan rumah-rumah di pedesaan, disediakan kendi berisi air –supaya musafir atau yang lewat– saat kehausan bisa langsung menenggak air, tanpa harus permisi atau merasa sungkan untuk meminta.

Dan model warteg atau rumah makan seperti ini, saya yakin tidak tunggal, kebaikan-kebaikan klise di Jakarta yang biasanya keluar dari mulut agamawan atau pejabat dan politisi yang sedang berkampanye itu, kadang menutup separuh mata saya tentang banyak hal.

Bahwa kebaikan-kebaikan itu, apapun bentuknya tetap terasa hangat, seperti saat saya mampir di warteg ini. Kebaikan warga bantu warga, rakyat bantu rakyat, semampunya, seikhlasnya, terasa romantik, dan saya suka merasakannya.

Saat saya bertanya kepada si Ibu warteg siapa namanya, beliau menjawab;

“panggil saja ibunya Arumi”

Setelah selesai dan membayar, musik di dapur memutar “Ulah Ceurik” yang dinyanyikan Detty Kurnia, samar-samar terdengar:

“ulah ceurik, tong diceungceurikan..pileuleuyan-pileuleuyan, hampura, abdi hampura..”

Post Comment