Jalansutra

Transformasi Rasa Tahu Campur Pak Sadak

Transformasi Rasa Tahu Campur Pak Sadak

Pak Sadak, bisa dibilang penguasa tahta puncak per-tahu campur-an di Surabaya. Meskipun berbentuk warung tendaan saja, tapi yang berkunjung untuk makan di situ bisa berjibun. Setidaknya jika dilihat kendaraan yang parkir saja, sekilas tidak kurang dari 30-an mobil, belum sepeda motornya.

Oh ya untuk yang makan di tempat itu beda jalur dengan yang dibungkus, kesamaannya keduanya antri. Namun bisa dibilang pelayanannya sangat cepat, pegawai yang hilir mudik sepertinya ada selusin. Mulai dari yang meracik sayuran, dan menyiapkan petis, mengiris daging dan urat, pengaduk dan yang mengguyurkan kuah, menambahkan kerupuk. Bahkan untuk bagian penerima order saja aja dibutuhkan dua orang.

Untuk peracik minumannya sendiri ada tiga orang, juga ditambah untuk bagian kasir, dan tim bagian cuci piring dan gelas.

Saya mengenal tahu campur ini sejak tahun 90-an awal. Saat itu tahu campur Pak Sadak, sudah ramai karena royal memberikan potongan daging atau urat yang besar-besar dan empuk. Tapi ketika itu, menurut saya rasanya masih biasa-biasa saja.

Namun dalam 10 tahun terakhir, entah kenapa bisa berubah drastis. Kuahnya lebih pekat dengan kaldu tulang sapi, namun tidak berminyak, pemakaian bawang putih yang berani, serta kualitas petis yg makin baik, menurut saya.

Saya seperti senang melihat perjalanan dan perkembangan dari sebuah kuliner khas daerah di Surabaya ini. Biasanya tahu campur ini biasanya diidentikkan dengan kota Lamongan –tapi justru sebagaimana soto ayam Lamongan— sepertinya malah tidak mudah mencari dua hidangan tadi yang pas dengan selera saya di Lamongan sendiri.

***

Penulis: Ariawan, Surabaya (anggota grup Jalansutra)

Editor: Husni Efendi

Post Comment