Narasi

Legenda Gudeg Bu Sudji: Sebuah Upaya Resiliensi

Legenda Gudeg Bu Sudji: Sebuah Upaya Resiliensi

Kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, mempunyai satu nama legenda kuliner, yaitu Gudeg Bu Sudji, yang berada di dekat halte Trans Jakarta Manggarai. Destinasi kuliner legendaris yang satu ini sudah ada sejak tahun 1962.

Terakhir kali kami datang sudah sekian tahun lalu, dan kaget, lokasi yang dahulu itu sudah tutup, dan sekarang sudah pindah tempat ke dalam sebuah gang, yang tidak jauh dari area tersebut. Kami lumayan kebingungan, dan beberapa kali bertanya, hingga akhirnya bisa menemukan Gudeg Bu Sudji di tempat yang sekarang.

Patokan mudahnya, jika ke sini, sekarang tempatnya tidak jauh dari pintu barat Stasiun Manggarai. Tinggal jalan kaki, dan sisanya, coba bertanya kepada warga sekitar, di mana lokasi persis Gudeg Bu Sudji, warga sekitar biasanya akan bantu mengarahkan.

Saat sampai, penampakannya sekarang berbeda dengan rumah makan Bu Sudji yang dulu, di mana kami mendapati sebuah rumah dengan ruang tamu yang disulap menjadi warung, dan berbagi ruang dengan pedagang minuman, dan hamparan masakan lainnya. Bayangan hidangan seperti dulu yang terhampar di dalam baskom, dari mulai baceman tahu, tempe, telor, ayam, dan buntil, nihil kami temui.

Kami bertemu dan berbincang dengan generasi kedua Gudeg Bu Sudji, yaitu Ibu Sri Murniastuti (58 tahun), atau yang biasa akrab disapa Bu Cici, untuk memesan nasi gudeg. Tentu sekaligus kami penasaran ingin tahu, kenapa dari tempat yang tadinya strategis dan sudah berpuluh tahun membesarkan nama Bu Sudji, kemudian berpindah ke tempat yang seperti lebih tersembunyi.

Kami berbincang, sembari menyuap hidangan gudeg. Berbeda dengan sebelumnya, kami memesan tahu bacemnya pun, sekarang digoreng dadakan.

Bu Cici menjelaskan kenapa sekarang ada perbedaan dengan yang sebelumnya, karena memasaknya dia hanya sendirian. Singkat cerita, kios yang lama tersebut disepakati untuk dijual, paska Bu Sudji meninggal, dan semacam menjadi warisan untuk dibagi kepada delapan anak-anaknya. Di sela helaan nafas kami yang menyayangkan, namun juga bukan hal yang patut kami gugat itu, Bu Cici bercerita tentang awal mula Bu Sudji dulu merintis usaha warung gudegnya.

Gudeg Bu Sudji dulu awalnya adalah gudeg gerobakan yang berada di bantaran kali di kawasan Manggarai Dekat halte TransJakarta. Bu Cici menjelaskan, tahun 60-an, dulu di situ banyak pedagang-pedagang kaki lima.

Seperti terbata-bata, sekaligus merapikan ingatannya, Bu Cici, anak ke-empat dari 8 bersaudara ini menjelaskan perjuangan ibunya Bu Sudji, yang bahkan saat berjualan juga beberapa kali harus berurusan dengan pihak keamanan, seperti kucing-kucingan, saat berdagang gerobakan di area bantaran.

Kisahnya dimulai ketika Bu Sudji memutuskan merantau ke Jakarta untuk berjualan gudeg, saat dirinya sudah mempunyai dua anak di awal tahun 60-an silam. Bu Sudji sendiri hanya menempuh pendidikan dasar dan tidak mengenyam sekolah lanjutan, yang menurut penuturan Bu Cici, dari situ ibunya kadang suka melamun saat melihat teman sebayanya berangkat sekolah. Dibanding bersekolah, ayahnya dulu menyuruh Bu Sudji kecil, lebih baik membantu berdagang saja.

Tidak lama kemudian, Bu Sudji mulai membantu usaha ibunya, yang juga berjualan gudeg, saat masih tinggal di Jogja.
Berbekal ilmu memasak gudeg dari ibunya, Bu Sudji kemudian memutuskan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib dengan berjualan gudeg juga.

Sekian lama dia berdagang gerobakan, dan sekian kali pula dia harus berurusan dengan pihak keamanan, hingga di awal tahun 90-an, Bu Sudji mencoba peruntungan, untuk melakukan kenekatan yang lain lagi, yaitu meminjam uang untuk membeli ruko di kawasan Manggarai seharga 50 juta rupiah, yang menjadi salah satu warung gudeg legendaris dan juga banyak dikenal orang.

Dalam perjuangan meramu gudeg, dia membuktikan bahwa kenekatannya berbekal perhitungan matang, dan uang yang dipinjam untuk membeli ruko, berhasil dikembalikan hanya dalam waktu 2 tahun. Hingga berita duka menghampiri, Bu Sudji meninggal tahun 2020 lalu, saat Jakarta dan banyak tempat di sedang berjibaku dengan pagebluk.

Lagi-lagi, bayangan tempat lama dan suasananya menghampiri ingatan kami. Bahkan Bu Cici sendiri pun masih menyimpan harapan, jika ada peluang, dirinya ingin kembali ke ruko yang dulu membesarkan nama gudeg Ibu Sudji.

Namun dia mengatakan hal tersebut dengan getir sambil menjawab entah kapan, sembari tertawa. Dan mengatakan, semoga Gudeg Bu Sudji masih bisa diterima oleh masyarakat.

Di tengah-tengah perbincangan itu, kami selingi dengan menyuapkan santapan gudeg dengan campuran krecek dan tambahan opor ayam ke dalam mulut. Tipikal Gudeg Bu Sudji ini adalah tipikal gudeg yang kering.

Tekstur nangkanya yang dipotong kecil-kecil, dengan warna yang tidak terlalu pekat, dan rasa yang tidak terlalu manis, dan saat menyantapnya menjadikannya tidak membuat eneg. Tekstur kreceknya juga masih terjaga seperti dulu, terasa kenyal dengan menyimpan sensasi pedas manis yang sedang di sela-sela pori-porinya, dan saat digigit lebih dalam bumbunya akan semakin terasa. Jika ada yang kami ingin santap namun tidak tersedia adalah buntilnya, yang juga menurut kami istimewa.

Total kocek untuk menyantap nasi gudeg, krecek, opor ayam, tahu bacem, dan dua es teh tawar, kami menghabiskan Rp 43.000,-

Menyantap Gudeg Bu Sudji di tempat yang sekarang, ditemani dengan perbincangan dengan Bu Cici, entah kenapa kami tiba-tiba menjadi teringat dengan serial The Road to Red Restaurants List. Jika Tamio Suda, tokoh dalam serial tersebut melakukan perjalanan untuk mendatangi tempat-tempat makan yang hampir tutup, kami makan sembari mendengarkan harapan Bu Cici yang ingin sekuat tenaga mempertahankan nama ibunya, Bu Sudji, untuk tetap selalu dikenang, entah bagaimanapun caranya.

Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.

Post Comment