Ulasan

Ada Hari Ada Nasi

Ada Hari Ada Nasi

Penulis: Bondan Winarno
(Dimuat di Majalah TEMPO, 26 November 1983, halaman 27)

Onze Vader, onze Koning
schrijf onze namen in het Boek des Levens
schrijf onze namen in het boek
van degelijkse verzorging en voeding

(J liturgie)

Katanya negara kita negara agraris. Tapi kita impor beras. Katanya luas laut kita lebih besar dari luas daratan. Tapi kita impor garam. Untungnya kita punya kelebihan minyak, yang tidak saja untuk kebutuhan sendiri, tapi juga untuk dijual ke luar negeri dan ditukar dengan devisa.

Kecukupan kita akan minyak memang cukup melegakan, setidaknya untuk jangka sekarang ini. Negara-negara maju yang membutuhkan banyak minyak, dan tidak bisa swasembada, sudah lama memutar otak dengan berbagai teknologi baru untuk menggantikan minyak bumi atau minyak fosil sebagai sumber energi. Sumber-sumber energi baru pun bermunculan – setidaknya ada 14 jenis yang kini diperhitungkan sebagai bakal pengganti minyak bumi.

Sebetulnya tidaklah benar istilah ‘baru’ di situ. Tenaga angin, tenaga surya, tenaga pasang-surut – misalnya – didaftar juga sebagai tenaga baru. Padahal angin, surya, dan pasang-surut sudah sejak dulu ada. Teknologinya saja yang mungkin baru.

Karena minyak bumi dianggap sumber energi yang tidak lama lagi bakal habis, maka hampir semua sumber energi baru yang kini sedang dikembangkan itu juga merupakan sumber energi yang terperbarukan (renewable). Gas yang dibuat dari tahi sapi adalah sumber energi terperbarukan, karena setiap hari sapi bertahi sekalipun mulut dan kukunya sakit.

Juga etanol sumber energi terperbarukan, karena etil-alkohol itu dibuat dari gandum, jagung, tebu, ubi atau singkong yang melalui proses penyulingan. Dan gandum, jagung, tebu, ubi dan singkong dapat ditanam kembali dalam daur cocok tanam yang tidak kendat. Juga metanol atau metil-alkohol yang terbuat dari kayu.

Kliping Majalah TEMPO, 26 November 1983, halaman 27

Masya Allah! Tebu dibikin etanol, untuk memacu mobil kita? Lalu ke mana kita harus cari gula untuk kopi kita? Sabar, sabar, ini bukan di Indonesia. Tapi nun di Brazil sana. Begitu populernya etanol di sana sehingga petani tebu lebih suka menjual tebunya untuk dibuat etanol –yang bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar, atau dicampur lagi dengan 75% bensin untuk membuat gasohol yang di Brazil disebut proalcool. Demi pembangunan kata mereka.

Untunglah masih banyak baron yang menguasai kebun tebu luas, lengkap dengan pabrik gulanya, sehingga rakyat Brazil tetap bisa minum kopi manis. Untungnya lagi, pada musim dingin mobil yang ditenagai alkohol sulit distart, karena cairan itu lebih mudah beku. Alhasil kampanye gasohol menjadi merosot pamornya. Dan sementara para ilmuwan sibuk kembali menguji gasohol di laboratorium, para konsumen kembali lagi membeli minyak bumi yang terbukti lebih tok-cer untuk mobil mereka.

Gandum, jagung, tebu singkong, dan ubi memang potensial untuk diolah menjadi sumber energi. Di Indonesia pun uji coba gasohol dari bahan ubi dan singkong sedang dijalankan oleh BPPT, dengan kapasitas produksi etanol lima juta liter setahun. Pada saat minyak bumi nanti betul-betul habis, dan ternyata hanya etanol yang promising sebagai sumber energi, mungkin akan berlaku semboyan makan tidak makan asal jalan.

Heran, manusia yang perutnya selalu lapar ini ternyata dalam sejarahnya sudah acap kali mengubah lahan produksi pangannya untuk kebutuhan lain. Ketika harga kopi di pasaran dunia meningkat, orang-orang di Lampung mengubah ladang jagung menjadi kebun kopi. Padahal sekarang harga kopi amblek.  Di Kenya, ladang jagung pun diubah menjadi kebun bunga krisan untuk keperluan ekspor ke Eropa. Di Brazil, tebu dan singkong secara besar-besaran diolah menjadi sumber energi. Sungguh fenomena yang ganjil, karena di ketiga negara itu masih banyak penduduknya yang menderita KKP (kemungkinan kurang pangan).

Teknologi alkohol sebagai bahan bakar bukan hal baru. Terutama dipakainya alkohol sebagai campuran bensin. Alkohol memang diketahui meningkatkan nilai oktan bahan bakar minyak. Tahun 1937 di Inggris sudah dipasarkan campuran bensin dengan alkohol, disebut discol. Dan diiklankan dengan semboyan the summer……[sebagian teks tidak terbaca-red]. Alkohol memang diketahui bisa meningkatkan nilai oktan bahan bakar minyak.

Tetapi pertanyaan meresahkan yang timbul bersama meningkatnya teknologi bahan bakar alkohol adalah: haruskah tangki Mercedes dan Cadillac diisi bahan bakar alkohol dari singkong yang lebih dibutuhkan penduduk dunia yang lapar?  Dari segi energi sendiri timbul kontroversi baru tentang keseimbangan energi: jangan-jangan energi yang terpakai untuk menghasilkan singkong atau tebu itu lebih banyak dari energi yang dihasilkan singkong atau tebu itu dalam bentuk alkohol.

Dipakainya bahan pangan untuk teknologi energi terperbarukan memang mengundang kontroversi yang tajam. Di Amerika Serikat etanol dibuat dari surplus jagung. “Biar saja daripada diekspor ke Rusia sebagai makanan ternak.” kata mereka. Seorang pengusaha pangan Amerika, Bob Burkett, mengatakan, “Sekapal penuh jagung yang kita kirim ke negara-negara Dunia Ketiga tidak akan menolong mereka dari kelaparan. Yang mereka butuhkan sebenarnya protein, bukan zat tepung, atau pati yang dikandung jagung.”

Benarkah itu? Tentu saja tidak. Itulah cara Amerika memandang masalah pangan.  Saudara-saudara kita yang lapar di Dunia Ketiga tidak saja kekurangan protein, tetapi kekurangan pangan secara umum. Dengan kekurangan pangan otomatis kekurangan protein pula. Masalah kerawanan pangan dunia adalah masalah kurangnya kalori, bukan sekadar kekurangan protein. Dan karenanya, setiap penggunaan bahan pangan untuk keperluan nonpangan hanya akan memperburuk situasi rawan itu.

Lester Brown, direktur Worldwatch Institute, membuat perhitungan: untuk menjalankan sebuah mobil selama setahun dengan etanol diperlukan jagung dalam jumlah yang cukup untuk memberi makan 40 orang dalam setahun.

Perhitungannya itu juga menunjukkan, untuk membuat dua milyar galon etanol (2% kebutuhan BBM Amerika Serikat) diperlukan 2 juta ton jagung (20% ekspor jagung AS). Padahal nilai impor negara-negara Dunia Ketiga yang sebesar 2 milyar dollar tahun 1970 telah berlipat lima ganda pada 1980,  yang menunjukkan meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada impor biji-bijian dari Amerika Serikat.

Sebuah pertanyaan moral yang membuat kita gamang: haruskah kita jalankan mobil kita dan membiarkan 40 orang mati lapar? Dan pada saat itu terjadi  kelak,  doa di atas itu mungkin perlu dibaca lebih keras, Tuhan, Raja kami, catat kami dalam Buku Kehidupan-Mu. Catat kami dalam daftar ransum pangan dari lindunganmu-Mu. Bukankah telah Kau janjikan nasi dan roti untuk setiap hari kami?

***

*Sumber foto header koleksi TEMPO

Post Comment