Penulis: @husni.efendi
Ribuan unggahan foto dan video di beranda instagram pribadinya layaknya pajangan di dalam pusat perbelanjaan yang mewah dan higienis. Dominasi unggahan masakan yang berbahan sayur dan buah-buahan, dengan pencahayaan dan angle menawan, menjadi bukti hobi fotografi pernah ditekuninya dengan serius.
Deretan lingkaran sorotan cerita instagram yang berjejer panjang ke kanan dengan nama negara-negara yang dikunjunginya, seperti menjadi bukti keseriusannya dalam dunia memasak, juga berbanding lurus dengan usaha untuk selalu menikmati hidup.
Namun, jauh sebelum memantapkan berniat terjun menjalani renjana yang seperti sekarang, kehidupannya tidak mudah, dan beberapa jalan terjal pernah dilaluinya.
Eddrian Tjhia lahir di Toboali, Bangka. Sebuah daerah yang dikenal dengan hasil lautnya, juga terasi, nanas, dan lada. Latar belakang keluarganya kental dengan dunia dapur. Ia tumbuh dalam keluarga besar dengan sebelas saudara. Kedua orang tuanya sama-sama gemar memasak.
Ayahnya punya kebiasaan sering mengundang teman-temannya datang untuk makan bersama di rumah. Dari sanalah Eddrian kecil terbiasa dengan suasana dapur yang ramai, penuh aroma masakan, dan cerita-cerita yang menyertainya.
Sejak kecil Eddrian sudah senang memasak. Kenangan awalnya di dapur sangat membekas, meski sebenarnya ia sempat punya cita-cita lain ingin menekuni fotografi. Begitu pula ketika ia sempat berniat mengambil sekolah chef; namun karena keterbatasan ekonomi orang tuanya, membuatnya harus merelakan keinginan tersebut.
Sehingga pilihan menekuni dunia memasak secara autodidak ia lakoni, berbarengan dengan masa-masa sulit keluarganya, karenanya, Eddrian muda sempat menyimpan amarah kepada ayahnya. Namun pelan-pelan, dari memasak pula justru menjadi jalan hidup yang menguatkannya.
Perjalanan takdir kemudian membawanya merantau ke Surabaya, lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1992. Di sana ia bekerja sebagai sales, lalu membuka toko elektronik di kawasan Glodok—menjual peralatan karaoke dan printilan-nya.
Selain memasak dan fotografi, Eddrian juga menggemari musik; ia bahkan suka bernyanyi. Namun, meski usaha toko cukup berjalan normal, ia menyadari bidang itu bukan gairah dan renjana sejatinya. Ada satu titik balik yang menyadarkannya bahwa dunia kuliner adalah jalan hidup yang paling ia cintai.
Suatu saat ketika pertama kali tampil di televisi, ia memilih memasak lempah kuning. Seorang teman yang juga host kala itu berkata;
“Ini enak sekali Eddrian. Kamu harus fokus ke masakan Bangka kalau muncul di TV.”
Sejak saat itu, lempah kuning yang memang menjadi kegemarannya dan masakan khas Bangka pada umumnya, ingin dia terus perkenalkan kepada khalayak luas.
Namun keputusannya tersebut bukan tanpa cibiran. Dia mengingat pernah ada chef lain yang mengatakan:
“Ah, Eddrian bisanya cuma masakan Bangka”
Namun ia memilih untuk tidak peduli. Justru konsistensi itulah yang membuatnya dikenal dengan mudah, karena mempunyai identitas spesialisasi. Baginya, masakan Bangka punya kekayaan cita rasa yang khas, gabungan dari: asam, manis, sekaligus kuat dengan jejak peranakan—perpaduan turun temurun tradisi Melayu dan Tionghoa.
Lempah kuning, masakan khas Bangka yang dia gemari dan banggakan ini biasanya berbahan dasar ikan tenggiri, bawal, atau kembung. Bumbunya sederhana namun setelah berpadu akan kaya rasa, gabungan: kunyit, bawang merah, cabai merah, terasi, air asam jawa, serta potongan nanas yang memberi kesegaran.
Eddrian juga sering mengenalkan choipan ala Bangka, kudapan berisi pepaya muda dan kelapa muda yang diparut, kemudian dicampur dengan ebi dan lada, lalu dibungkus adonan tepung beras dan sagu, dikukus hingga matang. Bentuknya segitiga, sederhana namun sarat tradisi keluarga.
Layaknya Bondan Winarno yang identik dengan maknyus, Eddrian juga sering membubuhkan kata hosit dalam mengekspresikan kuliner yang dia cicipi. Sebuah kata yang merujuk pada “enak” yang berakar dari bahasa Hakka.

Itu pula mungkin yang membuat jejak masakan di keluarganya tersimpan dalam manifestasi bumbu hong; campuran rempah seperti cengkeh, kayu manis, dan kapulaga yang dulu biasa dimasak ibunya, terutama saat Imlek. Dari ibunya, Eddrian belajar bahwa memasak bukan sekadar soal teknik, melainkan soal rasa, hati, dan juga kenangan.
Perjalanan kariernya juga kemudian membawanya mewakili Indonesia di acara kuliner Babah Nyonya di Singapura, Eddrian memperkenalkan kekayaan rasa peranakan. Ia juga sekaligus menulis beberapa buku resep, yang salah satunya lahir di masa pandemi kemarin. Kini ia menjalankan usaha private cooking untuk menu-menu Bangka, melayani pesanan (PO), sekaligus menjadi brand ambassador untuk beberapa jenama ternama.
Bagi Eddrian, di mana predikat chef yang kemudian sekarang dia sandang, adalah sekaligus bukti perjalanan dan perjuangan yang tidak sebentar. Prinsip yang ia pegang:
“Jangan pernah merasa puas, harus tetap belajar”
Sebuah pesan yang sepertinya adalah turunan dari apa yang ibunya pernah kemukakan;
“Mau laki atau perempuan, harus punya skill. Sekolah setinggi apa pun, kalau tidak punya keterampilan, percuma.”
Ia juga percaya bahwa sehat adalah pilihan, bukan kebetulan—sebuah filosofi yang ia terapkan dalam gaya hidup dan masakan-masakannya.
Kisah chef Eddrian Tjhia adalah kisah tentang keberanian memilih, tentang luka yang menyertai dan ditempa menjadi kekuatan. Tentang bagaimana sebuah hidangan sederhana bisa menjadi jembatan ingatan, rumah, dan identitas.
Lewat lempah kuning, ia tidak hanya menyajikan masakan; ia merawat warisan, mempersembahkan cintanya pada Bangka, sekaligus menghadirkan kembali suara ibunya, Tjhia Ay Khin, di setiap sendok kuah yang tersaji di meja makan.