Mengunjungi Warung Arema yang sederhana di kawasan Pasar Senen ini, telinga akan sering merdengar suara sirene dari tempat perlintasan rel kereta api. Perbincangan para pengunjungnya dan suara-suara sendok yang beradu piring, sering beradu tinggi dengan suara bising sirine tadi.
Awal ceritanya dulu, Warung Arema berada di depan stasiun Pasar Senen, dan berdiri sejak tahun 1981. Hingga kemudian terkena gusur, dan pindah ke tempat sekarang di Jl. Tanah Tinggi, Pasar Senen, sejak tahun 2020 lalu.
Ibu Sukesi adalah generasi kedua Warung Arema. Dulu saat orang tuanya memulai membuka warung, dirinya masih berada di Malang, namun karena warung selalu ramai, dirinya kemudian dipanggil dan diajak ke Jakarta untuk membantu usaha orang tuanya. Ibu Sukesi sendiri adalah anak ke-10 dari 19 bersaudara. Saat ini usianya 59 tahun.
Menu yang ditawarkan di sini adalah rawon, soto, nasi pecel, tahu campur, rujak cingur. Dan menu yang paling diminati adalah rawon dan rujak cingur. Sementara pilihan lauk favorit ada gorengan mendol dan bakwan jagung yang hanya dijual seribuan perbijinya.
Warungnya tidak seberapa luas, dan terdiri dari dua ruang, di mana yang satu untuk ruang memasak sekaligus memajang berbagai santapan dalam etalase kaca, satunya lagi untuk tempat makan pengunjung, yang bisa diisi maksimal 10 orang.
Sisanya, bisa duduk di kursi yang memanjang, atau harus bersabar untuk menunggu giliran duduk jika sedang ramai. Jika masih kurang sabar, pilihan dibungkus mungkin jadi pilihan.
Saat kami menyantap rawonnya, tipikal kuah rawonnya dengan warna cokelat muda, cenderung light, ringan di lidah, dan segar. Dan khas ala rawon Malang yang memang berbeda jika dibandingkan dengan rawon lain misalnya ala Surabaya, yang biasanya warnanya lebih pekat.
Namun jangan salah, sensasi rawonnya di sini gurih, ada rasa manis yang samar, dan yang penting dagingnya terasa empuk. Potongannya bervariasi, gabungan potongan dari daging kecil-kecil dan dicampur empal yang teksturnya lebih tebal dan agak besar. Gabungan olahan sekian bumbu yang diulek dan dicampur dengan kluwek pilihan, dan diseduh dalam hitungan jam di dalam panci dan kemudian digabungkan kecambah, sambal, eratan daging yang tidak berontak saat digigit, terasa paripurna sudah.
Duduk di warung dengan ruangan yang tidak terlalu besar, dan membuat keringat mengucur, dengan tebusan seruputan rawonnya dengan rasa yang seperti itu, untuk kami sepertinya sangat layak untuk dilakukan. Dalam bahasa yang sederhana, kami menggambarkan rawon di Warung Arema ini, kuahnya mantap, dagingnya melimpah, dan haraganya murah.
Bagaimana tidak, satu porsi rawon, ditambah kerupuk udang, dengan beberapa comotan mendol, bakwan jagung, tempe goreng, es jeruk, dan es teh tawar, kami hanya merogoh kocek Rp44.000,-
Beberapa kenikmatan tadi, dikarenakan Ibu Sukesi memilih bahan baku seperti kluwek, hingga emping, dan kerupuk udang dalam dagangannya, yang didatangkan langsung dari Malang. Per harinya, rata-rata Warung Arema bisa menghabiskan 10 kilogram kluwek dalam seminggu sampai 10 hari ketika berjualan.
Alasan Ibu Sukesi masih mendatangkan kluwek dari Malang, karena menurutnya, jika di Jakarta, kualitas kluweknya tidak terlalu pas. Saat kami bertanya, apa kekhasan rawon buatannya dibanding yang lain, beliau merendah dengan mengatakan tidak tahu, dan kemudian mengutip beberapa pelanggannya, katanya, rasanya seperti di kampung, sembari tertawa.
Sejak Subuh, Ibu Sukesi sudah mulai memasak, tetapi beberapa bahan tentu sudah mulai disiapkan sekian jam sebelum itu, dan selesai memasak sekitar jam 9 pagi. Warung Arema sendiri tidak ada liburnya, kecuali saat Lebaran, dan biasanya Ibu Sukesi mengambil libur 2 Minggu saat hari raya tersebut untuk mudik ke Malang.
Dalam menjalankan warung seperti ini, dirinya seperti selalu merasa berkejaran dengan waktu, semua harus tertangani dengan cepat. Kadang dia merasa lelah, tapi juga sering teringat, beberapa teman di kampung menyadarkan, jika sudah mempunyai usaha mapan di Jakarta, itu hal yang perlu disyukuri.
Hal yang juga disyukurinya adalah dari usaha warunngya itu, dia bisa mewujudkan beberapa keinginan empat anak-anaknya, termasuk bisa menyekolahkan mereka hingga tuntas.
Saat kami berbincang, ingatannya juga menyeruak, saat dirinya bercerita selama menjalankan warung, dari ditangkap Satpol PP ketika hendak berbelanja daging, hingga sosoknya dan Warung Arema-nya yang banyak dikenal oleh kalangan preman di kawasan Pasar Senen.
Soal preman di Pasar Senen tersebut, Ibu Sukesi menjelaskan, saat masa pandami beberapa tahun lalu, dia menggratiskan dagangannya, dan mereka yang banyak menyantapnya kebanyakan adalah para preman di Pasar Senen.
Di hari normalnya, Warung Arema bisa menghabiskan 25 kilogram daging sapi untuk untuk kebutuhan memasak rawon, soto, dan rujak cingur. Sementara untuk keperluan memasak, nyaris kompor selalu menyala 24 jam, terutama untuk merebus daging sapi supaya teksturnya bisa lembut saat dikunyah nanti.
Mari makan, rasakan, dengarkan, dan ceritakan.